Senin, 30 Maret 2015

Ketika kota budaya, Yogya bak kota metropolitan


Perjalanan ke Yogyakarta kali ini disponsorin oleh Mabes Polri-Polda Yogya, jadi mau tak mau suka tak suka, harus ikut kemana pelayanan dari Polda Yogya. Sebelum berangkat sudah banyak terpikir kalau Yogya baru-baru ini banyak ditemukan surga tersembunyi, seperti Goa Pindul dan beragam pantai yang Indah. Tapi pas lihat agenda dan rundown, jeng jeng… langsung lemes karena enggak ada wisata alam sama sekali.

Maka dari awal sudah melancarkan strategi dan akal bulus supaya gimana caranya bisa mereguk keindahan alam Yogya, tapi akhirya enggak berhasil karena alasan jauh. Lion Air selaku sponsor Polri pun terbang,

Sampai di Yogya kita sudah disuruh liputan beragam formalitas keberhasilan Polda Yogya. Ok dan bla bla bla, saat itu yang mencolok saat Polda Yogya menyergap penjual anak di bawah umur yang mengenakan seragam tahanan batik hehe… namanya juga kota budaya.

Saya akan cerita dua tempat yang saya kunjungin di sana bersama temen-temen jurnalis. Pertama kita kunjungan ke Borobudur.

Salah satu situs budaya Unesco ini sepi, dan saya senang bukan kepalang berarti foto saya enggak bakal banyak keganggu orang-orang lalu lalang. Saya sudah lama tidak ke situs ini, lagi ada pemugaran tampaknya. Dan, saya merasa dulu sewaktu saya pertama kali ke sini, tidak seramai sekarang ini. Dulu posisi Borobudur dalam ingatan saya seperti mengumpat di balik rindangnya pepohonan.

But see, sekarang everything has changed. Borobudur terbuka, di sekelilingnya menuju Borobudur sudah banyak pemahat yang sibuk menjajakan karyanya, jalanan ramai dan ugh, memang tidak seperti dulu.

Di sana saya sibuk cari-cari mana angle menarik , dan hasil jeprat jepret saya, saya tunjukan ke teman dari media Indonesia dan dia percayain saya jadi fotografernya. Kalau mau sombong meski saya tidak pake kamera dslr yang lensanya macem-macem, saya tetep bsa foto dengan amat  menarik dan indah. Saya Cuma rajin cari angle bagus, padahal cuma pake kamera poket. Mungkin karena sering latihan juga dan traveling hehe..

Akhirnya kita berdua bak model dan fotografer, berdua memisahkan diri demi foto2 bagus heheh..

Pemandangan di Candi Borobudur


Dan memang Borobudur sedang dipugar, tidak banyak juga wisatawan asing di sini. Karena semua terburu-buru, jadilah kita gak bisa eksplor lama2 di Borobudur, padahal klo sampai sore mungkin bisa lihat sunset di sini katanya bagus  kan…

Pulang dari Borobudur, malamnya kita ke candi Prambanan, untuk nonton sendratari. Alunan musik khas Yogya menyambut malam yang hening itu.

Dan ketika kami masuk arena VVI 2, wah! Bulan penuh sudah menyala, berdampingan dengan kokohnya candi Prambanan . Malam itu, sungguh khitmad
dan rasa-rasa mistis gitu. Aneh.

Sendratari Rama Shinta di Candi Prambanan

Ternyata untuk dapat tempat strategis ini biayanya cukup mahal sampai ratusan ribu, glek! Untung saya dibayarin. Ini pertama kalinya saya nonton sendratari jadi lumayan excited. Trus tanya-tanya sama bu kabid, soal cerita yang dipentaskan dan saya bingung karena semua full bahasa Jawa. Saya pun minta supaya saya bisa dapat resensi pertunjukan apa yang akan diceritakan. 
 
Dengan sigap bu Kabid langsung menyuruh bawahannya mencari resensi cerita sendratari, ga perlu lama 10 menit resensi sendratari sudah di tangan. Memang klo bareng polisi itu hehehe..

Ternyata kali ini sendratari berkisah tentang Rama dan Shinta dan bla.. bla hehehe… sendratari didukung oleh tata lampu yg apik dan pemain yang tak kalah bagus dengan pemain dari luar negeri mungkin…,

Ada juga monitor yang menampilkan penjelasan babak demi babak dalam bahasa Inggris dan Indonesia. saya bergumam ternyata ini sudah dikelola secara professional. Bangga!

Saya terpukau dengan lantunan musik dan tarian lembut yang disajikan, lalu saya tengok sebelah… si ibu kabid sudah menguap, kekelahan dia rupanya. Lalu saya tengok sebelah kiri, hal serupa kembali terjadi. Rasanya semua kompak menguap. Pikiran positif sih bilang mungkin mereka kelelahan, tapi pikiran’ negatif masuk lalu berbisik, “gini nih org Indonesia ga ada apresiasi sama kesukaan sama budaya sendiri ,padahal pertunjukan sudah keren begini,” saya saja yang lagi kebelet pengen ke toilet saya tahan-tahan karena gak mau melewatkan sedetikpun menjepret tanpa bliz dan menikmati babak demi babak.


Sampai sejam berlalu dan waktu istirahat tiba, heran juga ada waktu istirahatnya hahah ternyata pertunjukan akan dilanjutkan lagi, padahal sebelum istirahat lagi ada bakar-bakaran hanoman hahaha seru! apinya serius beneran, keren!

Waktu istirahat dimanfaatkan buat buang air sekalian ada sesi foto-foto sama penarinya. Tapi penarinya kurang welcome gak kyak penari-penari Bali yang ketahuan klo mereka senang dengan pekerjaannya dan sambutan penonton.

Pimpinan Mabes merengek pengen pulang karena dia mengaku ngantuk dan capek… ya kaliiii… saya cukup sebel karena tipe orang ini gak suka jalan2 dan lebih milih banyak di mess yang menyebabkan kita gak bisa kemana2 karena nurutin dia.. pihhhh

Ternyata dari sini kita gak langsung pulang, karena ada acara makan2 di Malioboro, beuh macet bray…mungkin saya enggak adil klo bandingin mailboro sekarang dengan zaman saya masih SMA, beda banget emang. Sekarang kayak pasar Blok M, mirip, serius! Meski banyak lesehan tapi ramenya ampun-ampunan dan pikiran mengenai Yogya sebagai kota budaya makin memudar.

Kami langsung menuju lesehan Terang Bulan yang rame banget tapi karena posisi polisi jadi pelayanan kita didahuluin dan tempat juga sudah di-reserve heheh aneh ya di lesehan bisa di-reserve. Makanan di sana emang gak ada duanya, klo boleh bawa ke mess saya bawa deh, karena burung daranya enak bgt. Garing gurih pokoknya sedap deh hehehe….
Acara makan di Terang Bulan

Pikiran saya soal hilangnya identitas Yogya sebagai kota budaya makin saya rasakan saat saya melihat hiruk pikuk kota ini pagi hari, bahkan tidak ada keramahan yg saya rasakan di sini, entah kenapa ya. Aneh…hal ini tentu berbeda kalau kalian mengunjungi Yogya 5 tahun tahun saja ke belakang, pasti benar-bener terasa deh betapa damainya kota ini tanpa ada modernisasi yg tidak berarti huhuu… saya terus berharap mungkin karena kelapaan saya sehingga belum melihat Yogya sesungguhnya seutuhnya.

Minggu, 08 Maret 2015

Baduy dalam , desa budaya atau desa wisata ?


Sudah lama saya menantikan perjalanan ke Baduy. Penasaran. Itu yang paling menggerakan hati saya itu bisa ke sana. Ya penasaran, seeksotis apa suku ini sampai tersohor begitu….

Banyak selintingan cerita sebelum mengunjungi Baduy. Banyak teman yang menakuti kalau daerah Baduy Dalam masih kental dengan hal-hal mistis. 

“Kalau ada orang sana yang suka dengan kamu bisa-bisa kamu enggak bisa pulang.” Kata salah satu teman wartawan.

Belakangan malah saya diwanti-wanti untuk enggak menatap mata orang-orang itu. “nanti kena magic” kata bekas teman kampus.

Atau yang teranyar  ada yang bilang, “Selepas kenal dengan orang Baduy Dalam, mereka bisa menemukanmu dimanapun berada,”

Sempat begidik memikirkan selentingan itu, tapi sekaligus membuat saya makin penasaran.

Saya ikut open trip yang digelar teman, satu teman kampus saya gandeng sebagai patner karena tahu akhir-akhir dia keranjingan traveling, maklum ketularan saya 

Sabtu itu kami berkumpul di stasiun Tanah Abang untuk menuju stasiun Rangkasbitung. Kami naik kereta ekonomi yang semakin lama semakin nyaman karena tak ada lagi orang berdagang bolak-balik atau kepulan asap rokok. Terima kasih Pak Jonan hehehe…

Di sana kenalan dengan beberapa teman ada fotografer, ada yang newbie baru pertama-tama ikut traveling, ada juga anak kota yang belagu setengah mati, ada juga yang suka merepet sampai saya merasa kepepet dan akhirnya diam saja. Hahahaha…

Ya, itulah traveling dan ikut open trip bisa bikin kamu makin banyak ketemu jenis orang-orang ajaib. Saya makin penasaran apa jadiya orang-orang ini kalau terdampar di suku pedalaman. Angan saya mengambang dan terbang kemana-mana.

Baiklah, sudah sampai. Ternyata ada rencana baru. Si leader mengatakan akan membeli ikan asin sebagai buah tangan. Katanya, orang-orang Baduy gemar makan ikan asin. “Oh gitu, pantesan kita dipesan untuk membawa ikan asin,”. Usut punya usut Rangkasbitung juga terkenal sebagai daerah penghasil beragam ikan asin.

Saya pun semangat ikut untuk menengok sebentar pasar Rangkasbitung yang terkenal dengan ikan asinnya. Benar saja, bau anyir ikan asin langsung menyergap ketika sampai. Oh ya, pasar adalah salah satu clue paling murni untuk belajar bagaimana kehidupan masyarakat di daerah itu. Jadi kalau traveling kemanapun usahakan menengok sebentar pasar di daerah itu.

Oke sip, berkantong-kantong ikan asin sudah di tangan dan kita siap meluncur ke desa Ciboleger, pintu masuk pemukiman suku Baduy.

Dua elf sudah menunggu, saya lupa tanya berapa untuk sewa satu elf ini. Sepanjang perjalanan memang kurang nyaman. Keadaan elf saat itu penuh sesak, cuaca panas, mesin meraung ditambah asap elf yang mengepul tak karuan.

Kami mampir sebentar untuk makan. Di sini lapar tak lapar kita diwajibkan makan karena trekking nanti akan ditempuh secepat-cepatnya 4 jam. Sampai di desa Ciboleger, kita sudah disambut dengan suasana beda. 


Peserta Open Trip Baduy

Suku Baduy dalam dan luar kompak menyemut di terminal Ciboleger. Sebagian besar mereka memang sudah bertugas menjadi guide tapi sebagian lain berjual macam-macam barang. Mulai dari madu sampai tongkat untung trekking.

Sebelum trekking kita sempatkan shalat dulu, memohon agar perjalanan lancar. Sempat khawatir karena mendung menggantung dan hari akan hujan, yang saya tahu kalau benar-benar hujan jalan akan licin dan lumayan bahaya kalau trekking.

Musala di sini tidak terurus berdebu, tanda memang masyarakat jarang shalat di masjid. Prihatin. 

Yang lumayan membuat kaget kalau mau buang air kecil, wudu, cuci atau mandi ada satu pemandian khusus wanita. Di situ semua dilakukan bersama-sama. Heee… lumayan risih sih hehehe… tapi byur, airnya sejuk khas pegunungan.

Siap-siap trekking dimulai, eh seorang peserta trip lagi-lagi ingin ke toilet. Nah di sini saya dongkol setengah mati. Wanita berjilbab plus kacamata trendi ini, minta izin ke toilet di rumah penduduk. Salah satu penduduk pun mempersilakan, tapi tunggu,  ternyata peserta ini tidak jadi gunakan kakus penduduk. Sebab dia enggan membuka sepatu dan masuk, dan penduduk yang tadinya ramah jadi sedikit murka karena peserta tidak sopan mau masuk rumah tapi kok enggak mau buka sepatu.

Lagi-lagi ingat ya sopan santun dan prinsip di mana bumi dipijak langit dijunjung. Kita ini tamu lho!
Gara-gara kejadian ini, saya sudah bersungut-sungut dengan teman saya. Kelakuan orang kota kok malu-maluin banget.

Oke, skip! Setelah berdoa kita pun ramai-ramai masuk ke gerbang “selamat datang di Baduy,”. Nervous! Pasti, tapi di kanan kiri kami sudah ada Sapri dan kawan-kawna dari Baduy Dalam yang siap jadi guide dan bawain barang. Sungguh saya enggak setuju soal bawain barang.

Rasa-rasa kok kayak kita budakin mereka. Parahnya lagi kita seolah enjoy aja nyuruh mereka bawain barang-barang kita yang lumayan berat. Mungkin mereka begitu karena mereka merasa akan kasih tips ke Sapri dan kawan-kawan jadi no problem. Tapi menurut saya itu perilau enggak pantas, khas anak kota. MANJA! Malahan yang bawain barang-barang orang kota ini anak-anak Baduy Dalam. Tubuhnya lebih kecil dari yang punya tas, tapi kok mereka tega ya nyuruh anak-anak ini bawain tas mereka. Geram saya tinggal lah geram, itu seakan sudah jadi kebiasaan. Ya memang kebiasaan yang tidak manusiawi!

Meskipun pada dua tiga jam ke depan terbesit di pikiran untuk minta dibawain karena lelah teramat sangat, tapi kalau melihat cucuran keringat anak-anak Baduy. Sungguh rasa tidak tega. Pingsan, pingsan deh asal enggak ngerepotin dan buat orang lain menderita.

Sepanjang perjalanan saya sibuk deketin si Sapri. Dibanding orang Baduy Dalam lainnya, Sapri lebih smart dan unik. Jangankan bahasa Indonesia, bahasa inggris sampai bahasa gaul pun dia gape benar. Saya pun dibuat takjub, segera saya gunakan kemampuan menghapal saya untuk menyerap semua informasi dari Sapri soal Baduy. Karena saya tidak mau traveling ini Cuma traveling biasa, harus ada ilmu yang harus saya bawa ke Jakarta kemudian saya tulis untuk pembaca setia merdeka.com, hehehe
Tapi saya rada risih karena satu peserta trip, saya lupa namanya, seolah gak mau kalah dia gencar deketin si Sapri dan kerap kali memotong pertanyaan saya. Dongkol jangan ditanya, itu pasti. 

Beberapa jam kemudian trekking tersama makin berat kami lewati beberapa jembatan, tanjakan, kerikil, lengkap semuanya. Sampai kadang musti merambat, tersungkur dan sebagainya. Setiap hampir setengah jam sekali kami istirahat. Sampai di satu titik lutut saya benar-benar bergetar sampai tak kuat digerakkan tapi Alhamdulilah kuncinya semangat dan kau pasti bisa melampauinya.

Yang saya salut, teman saya asal pulau seberang ini, benar-benar kuat dan hebat. Tipe petarung sejati heheeh. Langkahnya sigap, nyaris saya tidak saya lihat kelelahan di mukanya. Takjub!

Kembali lagi ke Sapri, Sapri membagi ceritanya kalau dia punya niat yang besar buat belajar. Di sakunya sudah ada buku cara belajar bahasa Inggris. Ternyata rajin jadi guide dan turun gunung jualan madu buat Sapri menyerap pengaruh luar lebih banyak. Tak ayal kemampuan interpersonalnya lebih baik, humoris dan rada alay hahaha… dia pun kerap kali diminta jadi ‘pajangan’ budaya orang-orang kota yang mau memperkenalkan Baduy. Ya, mungkin Sapri bukan lagi orang Baduy Dalam sepenuhnya. Bahkan di suatu malam dia pun mengaku memegang hape. Lagi-lagi saya dibuat geleng-geleng kepala. Sampai dia akhirnya memaksa saya berjanji memberinya buku untuknya belajar. Meski menyalahi aturan adat, saya selalu menyerah kalau ada seseorang yang bertekad belajar, pasti saya dukung sepenuhnya. Sayang buku yang saya titipkan rupanya tidak pernah sampai kepada Sapri. 
Sapri-sebelah kanan foto
Masuk ke wilayah Baduy Dalam gerimis turun, jalan yang tadinya terang menjadi gelap lantaran pepohonan semakin lebat dan cahaya matahari malu untuk menyelinap di antaranya. Sepatu saya makin tidak bisa diharapkan, alasnya semakin panas dan licin. Segera saja saya lepas sepatu saya, mirip orang Baduy saya pun bertelanjang kaki. Kalau mereka bisa masa saya tidak bisa. Eh, keputusan berdasarkan ego terkadang memang tolol, tajamnya kerikil pun sudah gemar menusuk2 kaki hahaha. Sempat menjerit tapi akhirnya terbiasa juga.

Salah satu view Baduy Luar

Di belakang saya wanita tambun tampak ngos ngosan, jalannya pun terpincang-pincang. Berkali-kali dia mengeluh tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan yang tinggal seperempat jalan. Saya bersama beberapa teman memutuskan menemaninya mengobrol sambil berharap dia akan lupa kalau dia mau menyerah. Dan tada! Kami berhasil, jalan sejak pukul 14.00 kami tiba menjelang magrib. Di dusun yang berhimpitan itu sudah ramai orang. Para pelancong tampaknya memang baru benar-benar sampai. “mana penduduknya ni?” tanya saya. Saya diarahkan ke rumah saudaraya Sapri. Saya lupa apa nama keluarga tempat saya tinggal. Tapi si bapak tinggal dengan istri dan dua anaknya. Satu anak perempuan tanggung dan satu anak laki-laki yang masih kecil.

Tubuh saya sudah basah dengan keringat, kaki pun kram. Saya sampai lupa kalau saya belum buang air kecil sedari tadi. Semua yang berhubungan dengan aktivitas kakus dipusatkan di satu sungai. Ada sungai untuk laki-laki dan perempuan begitu. Hari sudah gelap, semula daerah ini diharamkan memakai alat-alat elektronik, tapi sepertinya senter tidak termasuk. Aneh. Dusun ini benar-benar mirip pasar, dibanding penghuni asli Baduy Dalam lebih banyak pengunjungnya. Saya pun gemas karena fenomena ini membuat Baduy Dalam secara ekosistem sosial rusak.

Perjalanan pulang dari Baduy Dalam

Dengan pikiran seperti itu saya berjalan menuju bibir sungai. Semua peserta trip sudah ribet bagaimana mandi atau pipis yang paling pas supaya tidak membuat lelaki ngiler hahaha… Berbekal senter para wanita sibuk menginstruksikan bagaimana dan dimana mereka harus pipis, mandi, cuci muka dan gosok gigi. Tak jarang mereka benar-benar membawa berbagai hal yang mencemari sungai. Lagi-lagi saya mengurut dada. Orang kota!

Kedongkolan saya makin memuncak sama peserta trip orang-orang kota yang enggak tahu sopan ini. Saat hendak bersantap malam, tuan rumah sudah sigap memasak mie, nasi, ikan asin dan lain-lain. Tapi si orang kota ini malah ribet pakai berbagai jenis autan, lotion atau apalah saya tidak mengerti. Saat itu cuma ada saya dan seorang teman yang mencoba membantu keluarga kecil ini  memasak dan menyiapkan makan malam. Sampai suatu kebodohan orang kota lain dengan tololnya bertanya “Di sini gak pernah kebakaran ya, soalnya penerangannya lilin gitu?”.

Dengan wajah tak berdosa wanita kutukupret ini bertanya, dia tampaknya bener-bener bodoh atau tidak sopan saya tidak mengerti. Si ibu yang tidak fasih benar bahasa Indonesia melongo, dan teman saya yang biasa mengartikan ke dalam bahasa Sunda terdiam. Saya buka suara “Kadang-kadang kita harus perhatikan apa yang kita mau tanyain,” ucap saya tegas. Dia pun diam. Perlu diketahui, pertanyaan macam ini sensitif dan bagi sebagian orang-orang daerah bencana adalah bala yang kaitannya sangat erat dengan nilai budaya dan sosial.

Keadaan desa juga makin tidak kondusif dengan banyaknya pedagang lalu lalang. Dusun Baduy Dalam ini lebih mirip desa wisata ketimbang desa budaya. Tapi entah kenapa, saya melihat tidak ada rasa kesal atau benci terhadap para pendatang ini di mata orang asli Baduy Dalam. Saya benar-benar tidak tahu, atau mereka telah mereguk nikmatnya rupiah dari kantong para pendatang. Tetiba saya jadi merasa benci dengan tour leader saya, yang berkontribusi merusak tatanan kehidupan asli Baduy Dalam.

Saya sama sekali tidak merasa berada di suku pedalaman kalau seperti ini. Risaunya saya, saya usir dengan memainkan rambut si anak perempuan pertama. Rambutnya panjang dan halus padahal dia tidak memakai sampo apapun dan airnya juga cuma air sungai yang dipakai bareng dengan cuci kakus. Saat itu saya ingin membelikannya jepitan kupu2. Dia pasti cantik. Dia hanya tersenyum malu saat saya belai lembut rambutnya. Kami tidak berkomunikasi karena kendala bahasa, hanya bisa bertukar senyum

Si pemilik rumah tidur di ruangan dalam. Sementara kami para perempuan tidur berjejer dengan alas tikar. Saya benar terlelap karena kelelahan ditambah betis yang nyut nyutan tak karuan. Sampai suatu ketika saya dibangunkan oleh peserta trip yang ketakutan karena lilin dimatikan, dia panik. Beruntung si bapak sigap menyalakan kembali lilin meski rasanya tidak diperkenankan lilin menyala di waktu malam. Lagi-lagi tuan rumah dengan senang hati melayani. Suara lolongan anjing membuat saya makin terlelap, meski beberapa kali saya ngedumel kesal karena terdengar suara dering hape di antara jangkrik-jangkrik yang bersuara . “Sialan” kutuk saya.

Esok paginya setelah solat subuh kami berjalan-jalan, ditunjukannya rumah si kepala desa dan sesepuh yang katanya kalau kita mendekat bisa kena tula. Tibalah waktu kami harus pamitan, perjalanan pulang berbeda dari track masuk Baduy Dalam. Lebih basah, karena harus melewati beberapa aliran air namun pemandangannya jauh lebih bagus. Perjalanan pulang lebih santai. Kami berfoto di jembatan akar, dan saya masih dendam dan menandai beberapa orang kota yang tidak sopan. Mendadak waktu pulang saya lebih judes dari biasanya gara-gara ketololan orang-orang kota. Hahaha. Saya sempat senang karena beberapa orang kota yang brengsek itu sakit dan ada juga yang kakinya tercebur got. Mungkin saya jahat tapi alam dan tuhan memperlakukan mereka dengan adil toh.

Baduy Dalam makin kehilangan jati dirinya saat anak Baduy Dalam dengan lancar minta “coca cola” karena dia haus. Hah! Ya, semakin banyak mereka mendapat kunjungan semakin tercemar pula mereka dengan pengaruh orang kota. Saya berdoa semoga mereka gak sebrengsek orang kota yang berkunjung ke rumah mereka. Ya saya berdoa, saya berdoa.