Kamis, 30 Juni 2016

Menelisik Kearifan Lokal di tanah Celebes Bagian I

Salah satu awal mula kecintaan gue sama traveling salah satunya karena perjalanan ini. Sebelum terbang ke Sulawesi, sempet cekcok juga sama kantor sebab meski udah izin awal-awal tetapi mendekati hari H justru izin dipertanyakan.

Gila banget kan?! untung akhirnya lolos juga, ya iya lah duit gue yang Rp 1,5 juta terbang ke sana masa harus gosong gara-gara ga jadi. Oh ya gue juga dapat harga Rp 1,5 juta all in berkat daftar open trip terakhir-akhir dan dikasih diskon. Murah banget kan, dengan pelayanan so so lah.

Perjalanan terbang ke Makassar untuk pertama kalinya lumayan horor karena saat itu hujan lebat, langit berkilat-kilat, guntur menggelegar. Ngeri banget. Penerbangan malam yang harusnya gue tidur nyenyak di dalamnya malah ketakutan, memejamkan mata sambil baca-baca beragam doa.

Alhamdulillah sampe juga di Makassar dengan bandara yang saat itu masih baru direnovasi dan keren banget mirip mal. Dari bandara kita enggak bisa berlama-lama karena mini bus udah menunggu untuk langsung cus ke Tana Toraja.

Beruntung gue termasuk orang yang pelor jadi kerjaannya di mobil tidur mulu dan perjalanan nyaris 12 jam enggak kerasa. Lama banget lho kita di mobil mulai dari jam 3 pagi dan baru sampai jam 3 sore. Di sela-sela perjalanan kita mampir ke gunung nona yang pemandangannya super bagus.

Gunung Nona

Gunung Nona adalah gunung kehijauan yang berada di wilayah Enrekang. Biasanya orang yang mau ke Toraja pasti mampir ke sini dulu. Sejuknya bukan main! sebenernya kita cuma bisa lihat gunung ini dari kejauhan yang terhampar hijau. Sambil menyeruput kopi, makan indomi ataupun numpang mandi kita berhenti sejenak di sini.

Di kedai kecil ini gue beli indomi yang lama banget dianter.... dan setelah gue perhatikan kalau kita yang mesen sendiri emang gak terlalu ditanggapin tapi kalau orang asli sana yang mesen langsung diantar. Wow  ternyata mereka mendahulukan pelayanan ke sesamanya daripada turis dari luar. itu sih yang gue rasakan.

Di sini juga ada berbagai macam snack khas Enrekang, salah satu yang unik adalah keju asli Enrekang yaitu Dangke. Gw beli snacknya yang mirip cheese stick dan orang Jakarta banyak yang doyan lho.

Kita enggak berlama-lama di sini karena pulangnya toh kita akan istirahat lagi di sini. gitu katanya. perjalanan pun dilanjutkan hingga akhirnya kita sampai di gerbang selamat datang Tana Toraja.

Tana Toraja

Kota Toraja yang kaya akan budaya ini emang udah bertahun-tahun jadi tujuan wisata, dan mereka sadar banget sama potensi wisata mereka. Mulai dari sini semuanya terasa rata dengan rumah Tongkonan yang biasanya di dalamnya ada mayat-mayat disimpan untuk kemudian diupacarain kalau duit mereka udah terkumpul. Dalam upacara itu mereka harus menyembelih puluhan babi, makan bersama, menari dan menyanyi baru deh ditaro di bukit-bukit di sekitaran mereka.

Selama belum diupacarin, mayat mereka ditempatin juga di tongkonan  yang di luar tongkonan itu dipasang banyak tanduk kerbau, semakin tanduk kerbaunya banyak maka semakin dapat prestise mereka.

Pas banget waktu ke Toraja, ada upacara seorang jenazah polisi yang mau dikubur di tebing-tebing. Babi-babi hitam diarak untuk disembelih, di sisi lain para orang-orang menari-nari, selama itu dibacakan doa-doa oleh ketua adat. Entah kenapa gue berasa mistisnya dapet banget.


Langsung deh jiwa jurnalis tergerak merekam berbagai moment. Yang mengerikannya dan gue gak setuju itu cara penyembelihan mereka sama hewan. Masa babi yang udah merintih dan menangis diikat di kayu-kayu disembelihnya main bacok aja pake golok. Mending bacoknya langsung bikin si babi mati, tapi yang terjadi bacokan yang langsung di tubuh itu bikin darah babi muncrat-muncat, menggelepar trus kehabisan darah sampai akhirnya mati. Sungguh mengenaskan.

Habis selesai upacara mereka babi yang udah mati tadi dimasak trus dimakan rame-rame sama warga setempat. Sebenernya gue ketinggalan banget momen upacara ini, jadi gue sempetin tanya-tanya orang lokal sekalian buat berita.

Bener saja orang lokal Toraja sendiri sebenernya keberatan dengan upacara macam begini, kenapa? karena biayanya sungguh besar, mereka harus beli kerbau, beli babi dan macam-macam yang harganya bisa satu mercy.

Tak ayal akhirnya mereka menabung hanya untuk upacara, sementara untuk kebutuhan hidup, sekolah mereka harus pas-pasan kan kasian ya. Ya dilematis sih.


Dan yang perlu diketahui juga mereka mungkin menganggap kerbau seperti gambar kerbau bule di atas lebih berharga dari apapun. Kendati begitu, panorama Toraja cukup membuat mata segar karena dikelilingi bukit karst yang keren banget






Senin, 13 Juni 2016

Ideologi terselubung dalam pariwara



Terkadang pemirsa tidak sadar ataupun tidak mengetahui bahwa ada makna dan ideologi di balik pariwara atau iklan. Tanda dalam pariwara tersebut bisa dibaca dengan proses signifikasi dan memahaminya sebagai mitos. Mitos atau mythes adalah suatu jenis tuturan atau sistem komunikasi yang membawa pesan baik verbal non verbal atau campuran di antaranya. Untuk memaknai iklan pertama-tama harus mengetahui dulu konsep signifikasi Roland Barthes. Menurut Barthes ada dua tahap untuk memahami makna yaitu tanda menjadi penanda kemudian punya petanda lain.

Barthes

Sebagai contoh, pada tahap pertama ‘Volvo’ mempunyai konsep (petanda) merek mobil kemudian pada tahap kedua mempunyai petanda ‘kemewahan’. Perluasan makna ini disebut dengan konotasi. Dari sini diketahui tahapan kedua atau petanda kedua tidak lepas dari petanda pertama. Bahkan sebenarnya tahapan pertama saja cukup untuk membangun makna, namun tanda yang dihasilkan pada tahap pertama bergeser ke tahap kedua sehingga menyisakan tempat untuk tanda yang hadir selanjutnya. 

Selain itu, konsep yang diciptakan mitos itu kerap berubah-ubah mulai dari dapat dibuat kembali, terurai ataupun hilang. Namun ketika konsep ini hilang maka konsep yang terbentuk kembali tidak akan sama dengan konsep awalnya. Seperti, perbedaan pemakanaan rumah Gojong di Minangkabau dengan yang ada di Jakarta. Orang yang melihat rumah tersebut di Minangkabau tidak akan merasa terlibat sebesar keterlibatan pemaknaan orang yang melihatnya di Jakarta.

Dari mitos inilah banyak orang mulai membentuk dan menanamkan idelogi. Menurut Van Zoest, ideologi adalah sejumlah asumsi yang memungkinkan penggunaan tanda. Lebih jelasnya orang yang ingin tahu lebih jauh tentang budaya harus mengerti dulu ideologi kelompok budaya tersebut. Sehingga jika ingin menanamkan ideologi maka bisa ditampilkan lewat  mitos yaitu pesan atau ungkapan budaya baik secara verbal atau non verbal.

Proses mitos atau pesan menjadi ideologi adalah sebagai berikut :
a.      Pemaknaan dimulai dari pemaknaan harfiah yaitu pembaca menyesuaikan diri dengan penanda yang kosong. Sedangkan si pembuat mitos mulai mengisi pemakanaan dengan konsep yang sesuai.
b.     Jika pembaca sudah bisa menyesuaikan diri dengan bentuk dan arti dalam penanda itu maka pemaknaan tahap kedua selesai. Di sini pembaca menganalisis mitos atau konsep yang disajikan dan mulai memahaminya layaknya pembuat mitos.
c.      Jika sudah menyatu dan berhasil menyesuaikan diri dengan penanda mitos, dia akan mulai menemui makan tersebut amigu.

Dari sini disimpulkan bahwa pemirsa melangkah dari semiologi menuju ideologi dan melihat fungsi dari mitos yang disajikan iklan. Meskipun pada dasarnya mitos tidak menyembunyikan sesuatu dan tidak pula menonjolkan pesan yang disampaikannya. Tapi mitos bersifat deformasi yaitu pembelokan makna sehingga memungkinkan mitos bisa mengubah pengalaman menjadi sesuatu yang alamiah.

Ada tiga posisi yang yang berkaitan dengan mitos, pertama, si pembuat mitos adalah orang yang menyebarkan ideologi. Kedua, si ahli mitos adalah orang yang menganilisis mitos. Terakhir, si pembaca mitos (pemirsa) adalah orang yang menerima ideologi yang disebarkan oleh pembuat mitos. Dalam menyebarkan mitos, jika pariwara dihentikan atau penjualan produk tak berhasil maka bisa dikatakan penyebaran ideologi dikatakan tidak berhasil.

Sebagai contoh dalam propaganda ideologi yang disampaikan tersirat dalam iklan layanan masyarakat PLN.  

A.    Di situ digambarkan beberapa lelaki berkumpul dan berbincang di tempat yang kumuh. Salah satu dari para pemain yakni pelawak sambil memegang stop kontak dia berkata. “Kalau subsidi dicabut rakyat mati angin” tokoh yang lain menimpali “Rakyat yang mana? Mbok jangan pake alasan rakyat kecil terus, deh! Dapat punya kipas angin kok minta disubsidi. Yang keringetan dong, yang disubsidi. Rakyat kecil dikipas terus, ya kepanasan toh”. Laki-laki pertama “Kipassss, kipass! Angiiiin, angiiin!”. Laki-laki kedua “Jaman susah, kipasin dong orang yang lebih kecil, agar kita-kita ini dapat angin toh!” dibalas oleh lelaki pertama “Kipasss,kipasss!” Laki-laki kedua menimpali “Angiiin,angiiin!” Laki-laki pertama “panaaas, paaanas!”. Laki-laki kedua “Angin, angiiin!”

Dari sudut pembuat iklan :
Dalam iklan sosialisasi kenaikan listrik oleh PLN ini, seolah-olah tampak PLN berpihak pada rakyat. Seperti ucapan tokoh yang mengatakan jika “subsidi dicabut rakyat kecil susah”. Kemudian ucapan itu langsung diikuti ujaran pemilik kipas angin “orang orang yang gelisah karena harga listrik naik” . Dari situ si pemilik kipas angin tentunya orang mampu dan seharusnya bisa membantu rakyat.

Dari sudut pandang ahli mitos  :
Ahi mitos di sini mencoba membaca pariwara itu secara berbeda. Dari iklan yang sekilas menonjolkan sosialisasi kenaikan harga listrik oleh PLN, ahli mitos justru memandang PLN hanya berlagak berpihak pada rakyat. PLN seakan-akan membebankan tanggung jawab kenaikan harga listrik kepada golongan lain demi kepentingan rakyat. Seperti dalam kalimat “rakyat mana? Mbok jangan pake alasan kecil terus deh! Dapat punya kipas angin kok minta disubsidi. Yang keringetan dong yang disubsidi. Rakyat kecil dikipas terus ya kepanasan dong”.

Selain itu pemeran iklan tersebut, PLN mencoba menggambarkan rakyat miskin dengan latar tempat yang kumuh dan pemeran iklan yang tua-tua. Tak jarang para pemain di-close up untuk memperlihatkan citra ‘keniskinan’ mereka. Padahal bisa saja ditampilkan secara wajar dan sederhana.

Dari sudut pandang pemirsa :
Kita tidak menyamaratakan pandangan pemirsa terhadap iklan sosialisasi kenaikan harga listrik PLN ini. Mungkin sebagian menggangap iklan itu sebagai corong PLN saja untuk mencapai tujuannya yaitu menyosialisasikan kenaikan harga listrik. Di lain pihak ada yang menganggap iklan ini kurang berbudaya karena bicara sambil tidur santai .

Komentar :

Pesan atau mitos yang diulang-ulang tentunya menjadi ideologi masyarakat. Namun yang perlu dicermati bahwa tidak semua ideologi dalam pariwara sampai kepada pemirsa pada umumnya. Sebab harus diketahui ada banyak latar budaya di Indonesia sehingga nilai-nilai lokalitas berbeda. Bahayanya ideologi yang sudah terserap masyarakat kota menjadi ideologi baru untuk masyarakat pedesaan, dimana TV juga menjadi hiburan untuk mereka.

Memang seharusnya hal tersebut menjadi perhatian bagi para pembuat iklan dan penyebar ideologi di tengah masyarakat berbhineka ini. Selain menimbulkan sisi negatif, ideologi yang disajikan juga bisa memacu kemajuan di desa tersebut. Bukan hanya bermasalah di interpretan sebagai penerima tanda, permasalahan dan tanggung jawab moral juga ada pada pembuat iklan. Para pembuat iklan cenderung menanamkan ideologi kebudayaan kota sebagai jualan iklan mereka. Padahal ideologi yang terkandung dalam iklan selalu harus berkaitan dengan kebudayaan. Jika kebudayaan suatu daerah tidak menerima namun di lain pihak kebudayaan lainnya menerima akan menjadi masalah tersendiri.

Oleh karena itu, di Indonesia yang punya beragam budaya alangkah baiknya menanamkan ideologi sesuai dengan norma atau nilai umum yang dapat diterima masyarakat bukan berpatokan kepada kalangan dan menghiraukan budaya Indonesia yang lain. Sebagai contoh , iklan rokok Surya yang menampilkan sosok orang sukses dengan hidup glamor. Dengan tanda mengendarai mobil mewah, kerja di gedung bertingkat, berpesat dan sebagainya. Apakah iklan tersebut cocok untuk kalangan menengah ke bawah atau masyarakat pedesaan. Sukses bagi masyarakat pedesaan tentunya bukan selalu seperti itu, sukses bagi orang desa bisa saja punya sawah berhektar-hektar atau juragan angkot misalnya. Si pembuat iklan menampilkan seolah-olah sukses hanya untuk orang kota dan milik kaum jetset. Tak heran jika iklan ini ditampilkan terus menerus bisa jadi ideologi sukses  dengan mobil mewah, kerja di kantor, dikelilingi gadis cantik dan sebagainya.