Sabtu, 10 November 2012

Pejuang muda di Tapal Batas





Berbekal ilmu dan kepedulian, Ade Rahayu, mahasiswa teknik Universitas Indonesia (UI) menunjukkan semangat kepahlawanannya dengan mengajar di perbatasan. Februari 2012, menjadi pembuktiannya sebagai pahlawan muda yang turun dari menara gading untuk mencerdaskan anak-anak di SDN 06 Sungai Tembaga, titik Dusun Sungai Tembaga, Desa Tinting Seligi, Kecamatan Badau, Kalimantan Barat.

"Berangkat dari keprihatinan mengenai kondisi pendidikan di Indonesia, kami ingin melakukan suatu tindakan nyata sebagai bentuk tanggungjawab moral dan intelektual sebagai seorang mahasiswa. Hal sederhana yang terpikirkan pada waktu itu saya ingin menjadi guru, di daerah perbatasan. Kami menamakan kegiatan ini sebagai 'Gerakan Mahasiswa UI Peduli Perbatasan," ujar Ade bersemangat pada merdeka.com, Jakarta, Minggu (10/11).

Bersama rekannya, Fitrianti dan Nike, Ade menemukan hal yang memilukan hati. Pendidikan belum merata di Indonesia. Ade mendapati SD yang diajarnya hanya didukung oleh tiga guru, padahal muridnya membludak. Tak hanya itu ketidakoptimalan tenaga pengajar dan kelas ini membuat anak kelas 3 SD rata-rata masih belum bisa membaca.

"Di SDN 06 Sungai Tembaga yang pada jumlah siswa sekitar 45 orang dengan jumlah guru sebanyak 3 orang. Siswa tersebut ada yang kelas 1-5 SD, sedangkan kelas 6 belum ada siswanya. Sekolah tersebut hanya ada 4 buah kelas di mana kelas 2 ,3 dan kelas 5 hanya dipisahkan dengan sekat kayu. Siswa kelas 1-3 SD yang belum pandai membaca dan berhitung sehingga kami menyempatkan untuk belajar tambahan bersama," ungkapnya.

Namun jangan salah, letupan semangat justru datang dari anak-anak buruh perkebunan sawit. Meski dalam kondisi yang amat terbatas, nyatanya semangat anak-anak ini melampaui batas.

"Saya bisa melihat semangat besar mereka untuk belajar dan bermimpi tentang cita-cita mereka kelak. Anak-anak di sana hebatnya berani berpendapat bahkan kerap kali berebut untuk menjawab soal ataupun maju ke depan kelas," ceritanya senang.

Bukan hal mudah bagi Ade dan kawan-kawan menjalani misi mulia ini, ketika banyak orang membelanjakan uangnya untuk liburan, Ade justru rela menabung dan merogoh jutaan rupiah untuk memberikan pelita ilmu bagi anak-anak perbatasan. Ditambah perjuangan baik sebelum maupun saat berada di sana, sangat menempa fisik dan mentalnya.

"Akses transportasi yang sulit, kondisi jalan yang rusak, gempuran produk dari negeri Malaysia, dualisme kewarganegaraan, harga-harga barang kebutuhan yang mahal, pelayanan kesehatan yang kurang memadai, hingga akses pendidikan yang sangat terbatas menjadi potret kehidupan saudara kita di sana," lanjut mahasiswa angkatan 2008 ini.

Perjalanan mulia ini tidak sampai di sini, sadar tugasnya sebagai agent of change, Ade dan kawan-kawan berkomitmen akan terus menyebarkan ilmu mereka ke banyak daerah perbatasan lainnya.

http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-pejuang-pendidikan-di-wilayah-perbatasan.html
http://www.merdeka.com/peristiwa/fitri-pejuang-di-tapal-batas-kartini-masa-kini-4.html


_____________________


 Fitri dan Ade adalah satu dari sedikit orang yang 'aneh'
 pasalnya, ketika semua orang mengumpulkan pundi-pundi uang untuk berpergian ke tempat wisata yang memikat (termasuk saya). Mereka malah pergi ke perbatasan untuk membagi ilmu mereka.

Idealisme itu menjadi kunci bagi para pemudi ini menerobos beratnya medan. Apalagi mereka wanita, tentunya kejahatan rentan terjadi pada mereka, tapi memang dasar siapa yang bisa menentang niat baik seseorang yang diberkati Tuhan :)

Saya menemukan orang ini ketika dipaksa menulis tematik Kartini, ketika semua orang lain berbicara mengenai kehidupan sosã…‘al masing-masing wanita. Saya malahan gembar gemborkan soal pendidikan. Mungkin setelah bekerja pun sedikit idealisme saya tentang pendidikan masih ada. Apalagi di kampus saya termasuk orang yang menjunjung persamaan, seperti hak untuk pendidikan.

Menemukan orang yang beridealisme di kampus UI tidaklah sulit, mereka yang beridealisme cenderung banyak kawan dan rendah hati jadi saya tidak sukar menemukan mereka. Begitupun ketika saya bicara dengan Fitri via telepon, mungkin bicaranya datar tapi bisa buat Anda bergetar.

Dan dalam sekejap langsung merasa bersalah karena tak bisa melakukan hal mulia seperti mereka. Lalu apakah saya sudah bermanfaat untuk orang lain???

Mereka mengajarkan kita hidup bukan soal harta dan ilmu yang tinggi tapi bagimana keduanya kita manfaatkan bagi saudara kita yang kurang beruntung. Maksimalkan peran Anda dalam membangun Indonesia, begitupun saya akan terus berusaha mewartakan berita yang bermanfaat bagi masyarakat. Amin









Sabtu, 03 November 2012

Menasionalismekan atau men-korea-kan suku cia cia

Penggunan Huruf Hangeul


Bukan Korean Wave atau Hallyu yang membuat suku ini menggunakan huruf Hangeul sebagai tulisan kesehariannya. Namun suku Cia-cia yang berada di Kepulauan Buton, Baubau, Sulawesi Tenggara ini memang telah lama menggunakan tulisan Korea atau Hangeul ketika mereka menulis dan membaca.

"Baubau itu ada banyak bahasa di dalamnya termasuk bahasa Cia-cia yang dipakai rumpun masyarakat Cia-cia. Cia-cia itu tidak punya alfabet kalau dia menggunakan alfabet lain itu bisa pemaknaan beda. Kami gunakan hangeul bisa tetap mengerti," kata Wali Kota Baubau Amirul Tamim kepada merdeka.com selepas diskusi persiapan Festival Keraton Nusantara, Jakarta, Sabtu (11/8).

Amirul menambahkan, belum jelas apakah ada kedekatan historis antara suku Cia-cia dan Korea, namun menurutnya memang masyarakat Cia-cia yang berbahasa Indonesia menulis dengan Hangeul ini dulunya adalah seorang perantau. Sehingga mungkin saja pengaruh bahasa datang dari hasil pembelajaran mereka di tanah perantauan.

"Karena masyarakat Cia-cia itu masyarakat perantau, belum kami tahu ada kedekatan historis tapi kebanyakan pengaruh Cia-cia dari Mongol dan China yang dekat dengan rumpun dekat-dekat Korea. Tapi keseharian pakai bahasa Indonesia kok," tegasnya.

Meski demikian justru pemerintah tak akan pernah menghapus budaya tulisan Hangeul ini, bahkan dia berjanji akan memelihara kebudayaan tulisan ini. Apalagi selama ini pemerintah tetap memberikan pelajaran bahasa Indonesia dan tidak ada masalah dalam komunikasi.

"Kami ingin menyelamatkan bahasa lokal yang kemungkinan punah. Komunikasi tidak terganggu, apalagi tulisan Latin jadi pelajaran keseharian untuk pelajaran huruf. Kami harus akui kebudayaan kami kuat," ujar dia.

http://www.merdeka.com/peristiwa/suku-di-indonesia-ini-menggunakan-tulisan-korea.html

-----------------------------

Berita ini dibuat tanpa sengaja, saat itu Buton menjadi tuan rumah dari festival keraton nusantara. bukan  acara yang saat itu terpikir untuk dijadikan berita, tapi jiwa nasionalisme terpanggil ketika terdengar Bau-bau yang merupakan bagian Buton ikut disebut.

Pasalnya, ini menyinggung sedikit rasa nasionalisme saya. Persoalan pemakaian tulisan Korea berbahasa Indonesia di suku cia-cia, Buton buka barang baru bagi saya yang notabenenya dari sastra korea UI. Waktu itu di salah acara Korea, rakyat Cia Cia, bau-bau ikut nimbrung dalam satu acara bikinan pemerintah korea.

Mereka, orang korea amat bangga tulisan mereka dipakai oleh orang Indonesia bahkan ikut menjadi budaya minor indonesia. Kalau Anda tanya pendapat saya, justru ini melukai rasa nasionalisme saya. Bukannya saya tidak mengakui itu menjadi salah satu budaya Indonesia, tapi yang saya tahu Indonesia itu bahasanya ya Indonesia.sekali lagi bukan mengingkari keberadaan bahasa yang telah berakar ini.

Parahnya lagi, pemerintah Korea yang tahu ini merupakan peluang untuk menyebarkan budaya mereka langsung tancap gas memasukan banyak tenaga pengajar ke suku ini, termasuk beberapa rekan saya. Hasilnya tentu saja rakyat cia cia lebih 'kemasukan' dan condong pada budaya dan bahasa Korea. Lalu bagaimana dengan kita?

Ketika ditanyakan itu, si gubernur bilang bahwa mereka tetap belajar bahasa Indonesia. Tapi Anda tahu... saya tidak percaya. Dengan mimik dan nada suara tidak suka si gubernur menjelaskan bahwa tulisan korea yang dipakai rakyat cia cia itu bagian dari budaya Indonesia.

Dari situ saya tahu Korea tidak mencampuri soal pendidikan saja, entahlah....saya belum punya bukti kuat tapi saya rasa saya punya feeling yang kuat bahwa pemda tidak menyaring sama sekali pengaruh Korea ke Cia-cia dan itu pastinya akan menyebabkan nasionalisme luntur.

Satu lagi yang saya sesalkan, meski berita ini menjadi acuan dari media lainnya untuk mengupas tentang Cia-cia seperti metro dan tempo tapi saya sebagai orang yang pertama kali mengupasnya secara terbuka malah tidak diberi ruang untuk mengeksplore-nya lagi. Padahal berita ini pun nomor satu selama hampir seharian di tempat saya bekerja.

Entahlah saya harap angin segera bawa saya ke sana, supaya saya tahu sebenarnya sudah sampai mana tangan-tangan penjajah itu memasuki pikiran rakyat cia-cia. Sekali lagi saya hanya bisa berdoa!!

-----

Lama sudah saya tidak mendengar perkembangan Cia-cia berikut dengan Hnageulnya. Sampai suatu kali di seminar lingusitik, saya menghampiri seorang profesor dari Prancis dan hendak berbicara mengenai Cia-cia yang sudah bercampur dengan budaya Korea.

Ternyata bukan barang baru baginya, bahkan dia mengaku tidak mau berurusan dengan percampuran budaya Cia-cia dengan Korea. Kenapa? dan ups dia keceplosan bilang kalau ada intervensi politik dan ekonomi dalam percampuran budaya itu. Dia langsung menyodorkan seorang peneliti bahasa dari Cia-cia.

Sebentar mengobrol ternyata peneliti tersebut mengklaim telah terjadi sabotase budaya oleh Korea. Ternyata semua yang dikatakan gubernur itu salah. Tak pernah ada sejarahnya Korea zaman dulu memengaruhi rakyat Cia-cia. Mereka, orang Korea telah memanipulasi seluruh berkas sejarah orang Cia-Cia  demi sepetak tambang bernilai jutaan dolar. Celakanya itu sudah terjadi belasan tahun. Coba tebak, tak satupun dari pemerintah yang peka soal ini.

Peneliti juga mengaku sudah mempunyai bukti yang telah mendekati verifikasi untuk membuktikan kebohongan yang dilakukan Korea. Salah satu dosen saya di Laiden bahkan pernah menulis soal masalah itu dan dia mempunyai beberapa paper yang merujuk tak pernah ada sejarah Korea mencapuri kebudayaan suku Cia-Cia. Miris.