Sulit dibayangkan jika manusia yang telah lancar berbicara bahkan berbicara bahasa asing, sewaktu kecil hanya bisa mengucapkan sepatah kata bahkan dengan tidak lancar. Misteri terbentuknya persepsi bahasa pada bayi pun mulai diungkap banyak peneliti. Seperti penelitian yang pernah dilakukan oleh Dehaene Lambertz terhadap dua otak orang dewasa dan bayi, ternyata ditemukan bahwa otak bayi bekerja sama baiknya dengan otak dewasa dalam memroses bahasa, itu dilihat dari aktivitas Hemisphere bagian kiri saat mendengar bahasa (dalam Judit Gervain dan Jacques Mehler 2009: 210). Oleh karena itu, Lambertz percaya bahwa pengetahuan bahasa anak berkembang secara alami.
Pendapat lainnya yang mengatakan proses perkembangan itu datang dari stimulus yang diberikan oleh orang lain di lingkungannya (Julie Docrkrell dan David Messer 1999: 24). Para peneliti ini membuktikan teori mereka dengan mengacu pada reaksi anak, seperti lewat gerakan kepala, kuat dan cepatnya mereka menyedot susu mereka dan lain-lain. Dari situ diketahui bagaimana anak mempersepsikan bahasa yang dia tangkap lewat suara hingga akhirnya berkembang dan anak akhirnya mampu memproduksi bahasa.
PROSES PEMEROLEHAN BAHASA DAN PEMBENTUKAN PERSEPSI ANAK
Manusia pada hakikatnya belajar bahasa untuk pertama kali melalui suara. Dari suara yang dia terima tersebut, manusia merekonstruksi gambaran fonologikal kemudian diterjemahkan ke dalam struktur semantik dan leksikal yang sudah ada di dalam kognisinya. Sebagai contoh ketika seseorang mendengar kata “gadis itu bersama dengan anjingnya” maka yang terjadi seperti gambaran berikut ini.
Sistem audio → gambaran fonologikal → pemilihan leksikal → gambaran sintaksis → image (fundamental) (Eva M Fernandez dan Helen Smith Cairms 2011 : 170)
Proses ini adalah proses persepsi bahasa yang terjadi di dalam manusia. Begitu juga pada bayi, suara menjadi alat untuk bayi belajar memperoleh bahasa tetapi tidak seperti proses di atas, bayi belum memiliki data atau pengetahuan bahasa yang dia simpan di kognisi untuk menemukan meaning. Sehingga dia harus memulai pemerolehan bahasa dari satuan terkecil bahasa yaitu suara. Ada dua teori besar yang mengemukakan soal pembentukan persepsi anak. Teori tersebut adalah teori Nativist dan teori Statistikal.
1. Teori Nativis
Teori pertama dipelopori oleh Chomsky yang menganggap pemerolehan bahasa merupakan proses biologi yang dikodifikasi yang terjadi secara alami atau singkatnya bisa dikatakan pembentukan bahasa merupakan bawaan lahir dan sesuatu yang diturunkan (Judit Gervain dan Jacques Mehler 2009: 193). Salah satu contohnya, teori dari Birnholz dan Benaceraaff yang mengatakan sistem pendengaran anak sudah bisa berfungsi sejak dia masih menjadi janin di tiga bulan terakhir dalam masa kehamilannya (dalam Peter W Jusczyk 2000 : 75). Oleh karena itu, nantinya persepsi anak akan lebih kuat dan responsif jika ibu yang memberikan stimulus bahasanya. Tetapi teori dianggap tidak mempunyai cukup bukti hingga pada akhirnya teori ini disaggah oleh kaum penganut empirisme atau statistikal.
Noam Chomsky |
Penelitian lain pernah dilakukan oleh Behaene Lamblettz untuk membuktikan teori ini, Lamblettz mengatakan orang dewasa bisa mengkoreksi tata bahasa dengan aktivasi otak kanan, ternyata proses serupa juga terjadi di otak kanan anak yang baru lahir. Sehingga tak heran anak bisa membedakan mana tata bahasa yang salah mana yang tidak meski dia belum punya pengetahuan dasar bahasa. Chomsky juga berpendapat bahwa anak punya kemampuan untuk menyerap aturan bahasa dari lingkungannya tanpa harus diajarkan sehingga anak Inggris dan anak Jepang mampu membuat dan membedakan aturan bahasa Verb-Object dari lingkungan sekitarnya. Proses pembentukan persepsi dengan karakteristik bahasa seperti ini disebut dengan bootsrapping. Pinker sebagai pencetus teori ini mengatakan ada dua cara agar anak mampu membentuk persepsi dan menghubungkannya dengan karakter bahasa di lingkungannya.
Pertama lewat potongan kata yang dia tangkap dari orang di sekitarnya terutama ibu. Anak mampu memilah, menguraikan dan membatasi ujaran ibu. Dari sini anak akan mulai belajar mendeteksi dimana letak kata benda yang biasanya berada di belakang kalimat. Sebagai contoh “Ini adalah sapi” dan “Lihat itu gajah”. Dari sini anak mulai melakukan pelabelan. Dengan memanfaatkan ketertarikan anak pada objek-objek visual yang anak lihat, orang tua bisa mengajarkan anak pelabelan bahkan saat anak berada di usia kurang dari satu tahun.
Peranan orang tua untuk mengenalkan nama suatu objek bisa dilakukan dengan sambil bermain, menunjukan gambar di buku dan lain-lain. Interaksi seperti ini disebut dengan joint attention. Patut diketahui anak lebih memahami dan mudah menerjemahkan jika orang tua menyertakan referensi pada anak seperti gambar. Atau dalam kata lain, anak lebih paham dengan sentence frame dibandingkan dengan isolation word. Seperti pada percobaan yang menguji dua kelompok anak berusia 9 bulan. Kelompok pertama diberi gambar kelinci dan si penguji menyebut kata ‘kelinci berulang-ulang. Sedangkan kelompok kedua hanya diberi gambar tetapi tidak diperkenalkan kata ‘kelinci’. Hasilnya anak dengan pengenalan suara dan visual lebih optimal mengenal kelinci dibandingkan dengan kelompok anak yang lain (William O’Grady 2005 : 41)
.
Kedua, persepsi anak bisa dibentuk dari aspek fonologi. Anak mampu mendeteksi kata atau suku kata terakhir, anak juga mulai membatasi kata dari prosodi (penekanan), fonotatik (rangkaian kata di awal dan akhir), alofonik (variasi segmen suara) (Morgan dalam Eve Clark 2009 : 64). Proses pengidentifikasian ini terjadi pada anak berumur 10 bulan. Penekanan pada kata membuat anak lebih terfokus pada suku kata atau huruf yang biasa hadir di akhir kata. Sebagai contoh “Ini macan!” setelah anak mampu melakukan pengidentifikasian pada tekanan di akhir kata maka anak akan mampu menyempurnakan pengidentifikasian di awal kata.
Pinker mengakui kalau teori ini tidak sempurna sepenuhnya sebab ada tiga hal yang masih menjadi celah kesalahan dalam bosstsrtapping anak. Tiga kesalahan itu adalah tuturan yang diberikan oleh orang dewasa bersifat universal, interpretasi anak bisa saja salah dan tidak ada jaminan orang dewasa menuturkan satu objek dengan benar. Contohnya, jika seorang dewasa menunjuk dan memberi tahu satu objek bernama meong (kucing) dan sisi lain ada orang dewasa mengenalkan objek tersebut dengan label kucing maka anak di sini akan mengalami kerancuan dan gangguan dalam memahami bahasa.
2. Teori empiris atau teori statistikal
Teori kedua adalah teori emperis, teori ini mengatakan pemerolehan dan pembelajaran anak tak terjadi begitu saja, tetapi ada unsur konektivitas dan bergerak dari pengetahuan bahasa yang umum ke khusus. Menurut Tamsello tahapan pertama pemerolehan bahasa yang dilakukan bayi adalah memasukan semua data bahasa ke dalam otaknya (Judit Gervain dan Jacques Mehler 2009: 193).
Michael Tamsello |
Setelah itu anak mampu mendeteksi adanya pengulangan dalam konstruksi bahasa yang abstrak. Sehingga akhirnya anak atau bayi bisa memahami konstruksi bahasa itu. Perlu diingat bahwa pemahaman ini tidak dia dapat dari pengenalan dia terhadap pengetahuan semantik tetapi lebih merupakan hasil simpulan selama dia dalam tahap pembelajaran bahasa. Teori ini menolak teori pertama dan mengatakan bahwa pemerolehan bahasa anak bukan suatu hal yang diturunkan tetapi lebih pada kemampuan anak berinovasi dan melakukan eksperimen terhadap dirinya sendiri. Sebab banyak kasus saat anak kesulitan melakukan imitasi. Sebagai contoh percakapan berikut ini yang diambil dari percobaan Smith:
Father : Say “jump”
Child : Dup
Father : No “Jump”
Child : Dup
Father : No “Jummmp”
Child : Only Dady can say Dup! (Smith dalam Eve Clark 2009 : 69).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar