Senin, 29 Oktober 2012

Anak perahu dan pria berkaos putih



Geladak perahu berderit, ombak mengempaskannya ke kanan ke kiri. Semua penumpang tampak tegang dan berpegangan di bibir perahu.

"Perahu miring kapten!" ujar anak berumur 14 tahun itu kepada pengemudi perahu kayu.

Dengan cekatan Agus mengambil bambu untuk mengontrol goyangnya perahu. Perahu berpenumpang 20 orang ini pun stabil dibuatnya.

"Ini sih belum seberapa, waktu ke Pulau Pramuka bukan dengan kapal sebesar ini jauh lebih seram," cerita siswa kelas 2 SMP ini bangga kepada merdeka.com dalam perjalanan menuju pulau Pramuka, Jakarta (27/10)

Agus adalah satu dari puluhan anak di Muara Kamal yang mampu mengendalikan perahu atau yang kerap disebut sebagai anak perahu. Badannya kekar seolah laut membentuknya menjadi kuat, meski umurnya belumlah dewasa.

Kemampuannya memancing dan berenang juga tak perlu disangsikan. Sudah empat tahun, ia setiap harinya akrab dengan laut.

"Dari kelas 6 SD setiap pulang sekolah saya bantu ayah yang kerjanya memancing, kadang juga disuruh tetangga bantu bawa orang (di kapal)," ujarnya polos.

Baginya pekerjaan dan kesehariannya tampak normal, menurut penuturannya ada temannya yang bahkan terbilang lebih jago darinya soal menghadang ombak dan menjadi anak perahu.

"Ada teman saya dari TK sudah ikut ayahnya jadi nelayan, dia juga bisa berenang. Kalau saya waktu itu setahun tidak sekolah bantu ayah jadi nelayan," tuturnya sambil berkaca-kaca.

Upah yang diterimanya tergolong lumayan. Agus yang asli Karawang ini bisa mendapat upah hingga ratusan ribu. Saking jagonya mengendalikan perahu, para tetangga pun sering memintai bantuan meski perahu yang dibawa bukan miliknya.

"Dikasih uang tergantung jumlah orang yang dibawa bisa Rp 30 ribu sampai Rp 100 ribu. Biasanya dibawa sama tetangga. Kalau ayah sekarang tidak jaring lagi ikannya susah jadi kerja di pelelangan saja," ungkapnya sedih.

Bukan hanya perahu yang menjadi semangatnya, dari pengakuannya sekolah jadi sangat penting untuknya. Dia tak mau meninggalkan sekolah demi untuk mengantar orang ke pulau.

"Biasanya (berperahu) setelah sekolah. Rajin kok sekolahnya. Sekarang saja lagi libur," tutupnya

Muara Kamal menjadi satu dari berbagai tempat di Indonesia lainnya yang melahirkan banyak pelaut unggul. Agus menjadi salah satunya, dia pun menutup perbincangan dengan gairah melaut yang tak pernah pudar.


http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-anak-perahu-di-kepulauan-seribu-menantang-ombak.html

 --------------------------------

energik, sigap, ramah dan supel itu kesan pertama lihat si Agus.....
dia tak sungkan cerita apapun soal keluarga, sekolah, teman-teman dan perjalanannya. Meskipun saya tahu ketika ditanya soal kesulitan hidupnya apalagi harus sampai putus sekolah, nada bicaranya berubah tapi dia berusaha untuk tetap bersikap wajar sambil sesekali tertawa.

'anak sekecil itu sudah berkelahi dengan laut!" kalau boleh pelintir bang Iwan Fals mungkin begitu bunyinya.

Mental dan raganya dipaksa siap untuk mencari sesuap nasi. Apalagi kini ayahnya hanya bekerja di pelelangan akibat gudang ikannya sudah raib akibat kerusakan alam.

Yang lebih mengharukan lagi, ada satu penumpang pria setengah baya yang mampu menjadikan Agus lebih cair bahkan rasanya Agus mampu menceritakan semuanya ke lelaki berkacamata hitam itu. Entah darimana asalnya yang jelas saya sirik!

Ketika diperhatikan dua orang yang layaknya sahabat ini seakan tidak segan saling bertukar canda atau malah Agus tak ragu-ragu menyadarkan kepalanya ke bahu sang bapak. Meski begitu saya sejenak menikmati pemandangan itu apalagi diiringi tarian burung camar dan semilir angin.

Bapak itu tampak berada atau mungkin kaya tapi dia mampu menyulap Agus sampai terbawa dalam dimensinya, ya hanya dimensi para lelaki rasanya....

Yang jelas bukan hanya Agus dalam perjalanan kali ini ke pulau seribu, Bapak itu sedikit menyelipkan rasa haru ketika dia mampu merangkul Agus, si anak perahu. Tak peduli kaus putihnya kotor karena sandaran si Agus yang kumal. Syahdu....









Kamis, 25 Oktober 2012

Di bawah kepasrahan Merah Putih

Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang jatuh bertepatan dengan bulan Ramadan justru tidak menguntungkan bagi penjual bendera Merah Putih. Apalagi, peringatan Hari Kemerdekaan itu sudah berdekatan dengan Lebaran.

Seperti yang dialami oleh Syawal (49). Pria paruh baya ini mengaku sepi dagangannya dalam dua terakhir. Sepinya pembeli karena banyak warga yang lebih membelanjakan uangnya untuk persiapan Lebaran.

"Dari bujangan sampai punya anak umur 23 tahun saya jualan bendera . Nikah juga dari bendera. Dua tahun berturut-turut turun, sepi. Pengaruhnya karena Lebaran tidak banyak yang pasang umbul," kata Syawal kepada merdeka.com di sekitar Pasar Cikini, Jakarta, Rabu (15/8).

Syawal mengaku, ketika Hari Kemerdekaan tidak berdekatan dengan Hari Raya, banyak pembeli. Dia bisa meraup untung hingga jutaan rupiah. Tapi kini, dalam satu hari belum tentu satu bendera terjual.

"Kalau dulu borongan umbul-umbul, sendiri dapat 6-8 juta. Untung-untungan jual bendera. Kalau sehari-hari mendingan mulung," ujar Syawal yang juga berprofesi sebagai pemulung.

Untungnya, bapak enam anak ini tak habis akal sembari berdagang bendera, Syawal juga ikut membantu membuat keranjang parsel. Bahkan sehari bisa 10 keranjang dibuatnya.

"Sambil nyambi bikin keranjang parsel satu keranjang bisa 2500. Sehari bisa 10 keranjang. Pulangnya jam 11-12 malam. Berangkat jam 10 biasanya. Di sini-sini aja jualan bendera, mangkal," jelas bapak yang sebagian besar anaknya lulusan SD ini.

Ketika ditanya mengenai keuntungan penjualan bendera, Syawal mengaku tidak banyak dari hasil penjualannya. Sejak awal berjualan paling banyak bendera yang laku hanya 6-7 buah. Satu umbul-umbul yang harga awalnya 35 ribu dia jual 40-45 ribu. Kemudian dia setor ke agen penjual bendera dari 40-45 ribu dia hanya dapat 10-15 ribu tiap bendera.

Alhasil tahun ini jangankan untuk mudik atau beli baju baru, untuk makan sehari-hari harus kerja hingga lewat tengah malam sampai-sampai keluarga di Manggarai harus menjemput dan mengingatkan dirinya untuk pulang.

"Tahun ini tidak mudik, boro-boro. Anak juga minta baju baru terus pusing saya. Makannya juga masih mikir," ujarnya sedih.
http://www.merdeka.com/peristiwa/nestapa-penjual-merah-putih-jelang-lebaran.html


-----------------------------------------

Berita ini dibuat setelah sebelumnya sudah lama sekali tidak nulis berita feature. Berbicara dengan pak Syawal jadi mengingatkan kembali manusia bukan apa-apa dan tak ada yang perlu disombongkan. sekilas tampak dia lemah, tak bersemangat serta cenderung pasrah. Tapi inilah wajah-wajah sebenarnya rakyat jelata. Dosanya mereka tak pernah mau bermimipi untuk menjadi maju, tragis.

Tapi yang paling dibanggakan justru mugkin jarang dimiliki para pemimpi manapun, yaitu tunduknya dia pada takdir. Jika seorang pemimpi cenderung menolak apaun takdir yang buruk baginya tapi tidak dengan bapak syawal.Bahkan jika memang tuhan ingin mencabut nyawanya sekarang diapun rela. bagaimana dengan pemimpi? mana mau dia menyerahkan nyawanya sebelum mimpinya terwujud!!

saat itu tengah hari bolong, di bawah panas menyengat ku dampingi dia yang sibuk memaku  kayu-kayu kecil untuk dibuat keranjang. Penghasilannya saat itu kecil sekali, yang buat gregetan di tengah ekonomi menjepit anaknya tetap banyak. itu dosa kedua bagi rakyat jelata

Tapi berbeda dari rakyat miskin yang malas dan kerjanya hanya meminta. pak Syawal beda. Dia tergolong rajin bekerja sampai-sampai keluarganya harus menjemputnya jika dia pulang lewat tengah malam. Di tengah asap rokok yang dia hembuskan kuat-kuat seolah-olah cerita itu menjadi asa yang terbang dibawa udara. Bicaranya enteng tapi tampak sekali dia memendam rasa kecewa di hidupnya. Mana ada orang mau hidup susah begitu??

Lalu mau apa? protes ke tuhan?  sudah ku bilang dia bukan tipikal orang seperti itu. Meski seberapapun dia tidak suka para preman memintainya uang dan mengancam membunuhnya. Dengan santai menjawab, "kalau memang saya harus lewat ya mau apa, palingan anak saya jadi yatim" .......

Kalau sudah begitu, rasanya ada beribu paku yang menghujam hati. Kita yang selama ini terus mengeluh betapa sulitnya hidup lantaran masalah pekerjaan, putus sama pacar, atau berantem sama temen mau jawab apa???

Memandanginya lama, kerasnya hidup buat dia begitu tegar dan sekali lagi bercermin masihkah kita mengeluh dengan hidup kita yang tergolong enak, sedangkan banyak orang di luar sana yang harus berjuang hanya untuk bisa melanjutkan hidup mereka.

Pekerjaannya memang dari merah putih, yang notabenenya untuk membangkitkan nasionalisme Indonesia. Tapi tanah air tidak memihaknya atau (belum) memihak padanya
















Rabu, 24 Oktober 2012

PKI yang mati

Masih lekat dalam ingatan Tinus saat sejumlah orang bersenjata tajam beramai-ramai mengobrak-abrik dan membakar markas Comite Central Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Takut menghadapi massa yang beringas, pedagang yang sudah berdagang sejak tahun 1965 ini lari kocar-kacir ke arah Kenari.

"Ada dua truk orang bawa senjata sebesar ini serang dan bakar, ngeri saya lari ke Kenari. Semua orang di sini lihat doang gak ada yang ngamanin," ujar pedagang loak yang berjualan sejak tahun 65 ini kepada merdeka.com, di Jakarta, Minggu (30/9).

Bukan hanya melihat peristiwa kebakaran, Tinus juga melihat para tentara keluar masuk pasca-pembakaran. "Pos di sini jagain di sini lama. Tapi waktu pembakaran untungnya pagi jadi belum ada orang," pungkas bapak berumur 82 ini mengenang.

Kini, bangunan yang dulu berdiri jumawa kini seakan tak bernyawa. Seperti si empunya yang dihabisi tanpa membalas, gedung ini kusam, dengan jendela pecah di mana-mana. Tak jelas nasibnya.

"Katanya sudah dibeli hotel Acacia mau dibuat restoran tapi sampai sekarang belum," kata Tinus.

Dia mengatakan, gedung tak terawat itu juga sering menjadi tempat uji nyali bagi mereka yang mengaku pemberani.

"Tapi saya jarang digodain karena sudah kenal dan sering nginep di sini," tutupnya.

http://www.merdeka.com/peristiwa/menengok-markas-pki-yang-telah-mati.html

Markas PKI di Salemba

Sudah sering lewat kramat raya, tapi baru 'ngeh' ini adalah markasnya Aidit  CS...
Waktu itu bertepatan dengan 30 September 2012, di siang yang terik 'teror' dari kantor terus-terusan minta agar saya melihat lagi markas PKI.

Ternyata.... tak  yakin satu dua kali mondar mandir di depan bangunan mengenaskan ini. Pertama dipikir ini "salah pasti salah", persoalannya disebelahnya berdiri tegap hotel mewah. Aneh harusnya pengusaha ga ada yang membiarkan tanah luas ini terlantar. Lalu tanya-tanya dan benarlah ini dia si bangunan yang konon disebut-sebut gagah di zamannya.

Persoalan yang lain datang, dengan perut keroncongan harus tahu siapa yang pernah lihat bangunan  ini dibantai. Tapi tidak sulit ternyata dua bapak tua dengan senang hati menceritakan semua. Meski harus pasang kuping baik-baik untuk mendengarkannya karena giginya sudah tak ada jadi bicaranya sulit karena kempos.

Dapat sudah berita ciamik, sembari makan siang justru malah terus kepikiran dua bapak tua yang kerjanya cuma pedagang alas kaki bekas, yang satunya tukang sol.

Lebih teriris hati ini dibandingkan lihat bangunan bekas PKI. giamna tidak, perjuangannya tidak mudah, Pak Tinus harus berkali-kali diusir satpam gara-gara tidak boleh tidur di bangunan tua itu meskipun si 'pemilik' sebenarnya merestui hehehe.

Alhasil dua kantung ayam goreng mas mikun jadi hadiah buat mereka makan malam nanti, Semoga Bapak itu terus mengenang sejarahnya yang berharga untuk diceritakan ke anak cucunya.

Ini dia tradisi lebaran ala Betawi

Setiap suku di Indonesia tentunya punya tradisi yang dilakukan ketika Lebaran. Contohnya, suku Jawa identik dengan budaya sungkem atau menghidangkan rendang dalam tradisi Minang. Suku pemilik Jakarta, suku Betawi juga punya cara unik menyambut lebaran.

Contohnya keluarga Novi-Yamin, keluarga Betawi ini melanjutkan tradisi Betawi yang sudah dilakukannya turun temurun.

"Biasanya lebaran potong kerbau hasil patungan dari seluruh keluarga besar. Dulu juga bikin dodol, tape uli sama-sama kemudian dibagikan ke orang yang lebih tua dan ziarah,"jelas Novi kepada merdeka.com melalui sambungan telepon, Jakarta (21/8).

Tak hanya itu uniknya, keluarga dengan lima generasi dan jumlah cucu-cicit hingga 50 orang ini tinggal di satu kampung yang sama, tak jauh dari tempat wisata Ragunan. Sehingga acara makan-makan pun dilakukan di kebon atau bale dekat rumah orang tertua.

"Kita juga ada tradisi makan-makan dengan jumlah keluarga sampai dua ratus orang di kebon atau bale. Ziarah juga sampai empat komplek pemakaman. Di tiap komplek ada beberapa orang yang diziarahi," tambahnya.

Untuk Novi sendiri sebagai anggota keluarga baru, hal ini tentunya mencengangkan dengan banyaknya anggota keluarga besar dan segala aktivitasnya.

"Saking padatnya acara saya sampai lelah" tutup Novi.

http://www.merdeka.com/jakarta/tradisi-lebaran-ala-betawi.html

ilustrasi tari Betawi



Ondel-ondel

Berita ini dibuat dari inspirasi pagi yang melintas saat sepupu yang baru menikah menemukan sesuatu yang WOW gitu. benar, memang dia menikah dengan budaya betawi yang kental. Tentunya sekarang udah banyak ga dipake sama orang Betawi lainnya.

Apalagi pas ke undangan itu rasanya kayaknya orang yang disalamin ga abis-abis. Inilah budaya betawi yang harus dipertahankan. Apa sih yang membuat Betawi itu beda dengan yang lain, pasti RAME-nya itu kan.

Makanya karena ceritanya sungguh menggelitik, tertuang deh di dalam berita pagi di merdeka.com, tanpa dikomando berita ini dikirim. Hasilnya, saat itu penulis suka tulisan ini dan banyak juga yang baca. Itung-itung promosi budaya sendiri.

Tapi beneran deh, perkawinan dengan budaya kental begini sungguh unik dan berasa kedekatannya karena proyek budaya pernikahan ini ga akan bisa terealisasi tanpa semua anggota keluarga turut serta. mulai dari kawinan dua hari dua malam plus orkestraan sampe ramainya kerabat dimana-mana.

Ga cuma perkawinan, di berbagai aspek pun kebersamaan masih banyak terlihat kayak waktu Lebaran potong kerbau rame hasil patungan seluruh anggopta keluarga, menakjubkan bukan?

Jadi, entah mau malu atau salut tapi dua duanya langsung saya rasakan sebagai orang Betawi. Gimana dengan budaya kalian masih hidupkah seperti ini atau malah lupa kalau sebenarnya ada tradisi seperti ini??





Selasa, 23 Oktober 2012

Di Teluk Kiluan hariku berkilau












Bak surga di tengah hamparan bukit dan pulau, Teluk Kiluan menjadi destinasi wisata yang layak dikunjungi. Panorama surgawi seperti suara deburan ombak, bau laut yang berharmoni dengan nyanyian lumba-lumba hingga sunset nan jelita, keindahannya memanjakan pancaindra Anda.

Untuk mencapai Kiluan yang berada di Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus, Lampung setidaknya harus menempuh perjalanan 6 jam dari Pelabuhan Bakauheni atau sekitar 12 jam dari Jakarta dengan melewati kota Bandar Lampung.

Selain waktu tempuh yang lama, rute perjalanan juga tidak mulus. Beberapa tanjakan dan turunan curam ditambah jalan rusak menyebabkan perjalanan ke Teluk Kiluan cukup melelahkan. Namun jika sudah melewati Desa Bali, bersiap-siaplah karena sudah semakin dekat dengan surga tersembunyi, Teluk Kiluan.

Sampai di sana, jangan kaget karena untuk listrik dan sinyal telepon akan sulit didapatkan. Sebelum menyeberang ke beberapa pulau yang terdapat homestay, sebaiknya membeli beberapa keperluan karena setelah menyeberang pulau tidak ada toko atau warung sama sekali.

Bukan hanya itu, mungkin pengunjung akan sedikit terperangah ketika menyeberang ke pulau lainnya. Selain menyeberang hanya dengan perahu kecil milik nelayan untuk urusan pelampung perahu ini tak ada. Di sini harus lebih hati-hati meski jarak antar pulau tampak dekat namun tetap saja hati-hati bagi yang tak bisa berenang.

Namun, rasa cemas menantang laut dengan perahu kecil, seakan terlupakan setelah disuguhi pemandangan bukit dan gunung yang berjajar dan air laut berwarna hijau toska yang berkilauan. Ditambah angin laut yang memanjakan dengan belaian lembutnya.

Sunset nan jelita

Petang menjelang, maka pengunjung harus siap-siap menikmati panorama surgawi lainnya. Ya, sunset dengan warna jingganya berkilauan.

Sekitar 30 menitan, bisa menikmati ketika sang surya tenggelam, hilang di antara awan yang berarak di Teluk Kilauan. Matahari seakan membuat suasana semakin romantis dengan alunan simfoni ombak-ombak yang menghantam karang.

Kuning, jingga kemudian ungu awan pun berubah mengikuti kepergian sang surya. Panorama surgawi Kiluan sungguh menciptakan suasana romantis.

Nyanyian dan tarian si lumba-lumba

Sajian keindahan Teluk kiluan tak sampai di sunset saja, seakan tak pernah habis. Pengunjung ditantang pergi ke tengah laut untuk menikmati nyanyian dan tarian lumba-lumba dari habitat aslinya.

Berakit-rakit ke hulu bersenang-senang kemudian kembali berlaku. Sang biduan tengah menunggu, tapi penonton harus rela pergi ke tengah laut dengan perahu kecil dan rentan. Namun kali ini tentu saja sang pengemudi harus menyiapkan safety jacket agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.

Untuk mencapai ke tengah laut, perahu hanya boleh diisi empat orang termasuk pengemudi. Perjalanan pulang-pergi dari bibir Kiluan ke tengah laut berlangsung tiga jam.

Adrenalin diuji, pengunjung hanya bisa melihat lumba-lumba di pagi hari dan itu berarti air belum sepenuhnya tenang. Terkadang berkali-kali ombak tampak seperti akan menggulung perahu kecil nan rentan itu.

Melihat kecemasan para pengunjung biasanya sang pengemudi, menyuruh berteriak selain melepaskan ketegangan, hal itu juga bisa membuat lupa kalau tengah mabuk laut.

Deru Mesin perahu dipelankan, pertanda kian dekat dengan lumba-lumba. Lalu lalangnya burung-burung menandakan lumba-lumba sedang asik bermain.

Seketika senyap, dan satu dua tiga lumba-lumba meloncat-loncat kegirangan dari dalam laut. Menari dan kadang-kadang bernyanyi memanggil temannya yang lain. Pengalaman menyaksikan lumba-lumba sungguh tak ternilai. Lumba-lumba seolah menantang para pengunjung.

Bagi pengunjung tentu harus sigap menangkap momen ini, selain tak semua rombongan kapal bisa melihat lumba-lumba, sang bintang juga rupanya masih malu sehingga pertunjukan berlangsung selama 5 sampai sepuluh menit.

Tapi tunggu dulu, Anda bisa request ke pengemudi jika mau mencari kawanan lumba-lumba yang lain. Tak jarang mereka bertepuk tangan atau memangil-manggil sang biduan untuk manggung kembali.

Kebanyakan orang langsung mengabadikan indahnya tarian mereka lewat video. Tapi tak jarang juga yang pulang tanpa senyum akibat tak melihat indahnya tarian lumba-lumba. Oleh karena itu sebelum berangkat biasanya guide sudah mengingat untuk jangan berharap banyak.

Selain dua hal di atas, keindahan Teluk Kiluan bisa dinikmati juga dari pantai pasir atau kenanekaragaman bawah laut lewat snorkeling. Untuk snorkeling biasanya ada pemandu yang juga menyewakan alat-alatnya.

Jadi, tunggu apalagi jika penat dengan aktivitas ibukota dan berniat memanjakan diri lewat keindahan bahari. Ada baiknya sempatkan waktu Anda ke surga tersembunyi, Teluk Kiluan.