Sampai di bandara Larantuka, gue langsung loncat-loncat kegirangan dan temen-temen gue pura-pura gak kenal gara-gara malu. Sumpah bagus banget! Kalau kata temen gue, Flotim itu sampe langitnya pendek ya saking bagusnya. Bahkan temen gue yanga asli orang Manggarai Flotim bilang, kalau dilihat-lihat kampung gue ternyata bagus ya (yaelah kemana aja lu!)
Dan kita dikasih penginapan yang lumayan bagus versi di sana dengan pemandangan bibir pantai. Hmmmmmmm....
Enggak bisa lama-lama terlena karena abis ini kita harus nyebrang ke Pulau Solor buat berburu cerita humanis lagi. Dari dermaga Larantuka ke Solor lumayan lama hampir sejam lagi. Tapi enggak apa-apa deh karena lautnya biru banget dan sampe mau tidur-tidur di atas dek perahu.
Sampai di Solor, enggak ada angkot atau mobil bagus yang bisa antar kita ke rumah narsum itu. Kita akhirnya naek mobil pikap yang udah disiapin dengan jalan super kecil.
Perjalanan selama 30 menit makin butuh perjuangan karena kita dsiram hujan. Berhenti dulu deh di kedai kopi yang cuma dari kayu-kayu yang ditiup angin kencang mungkin udah roboh tuh warung.
Antisipasi hujan lagi, kita pasang belakang pikap kita dengan terpal bener-bener adventure banget mana gw kebelet pipis akhirnya untuk kesekian kalinya numpang lagi di rumah orang. Beruntung mereka welcome banget meski gue cuma numpang buang aer.
Yang menarik sepanjang perjalanan kita juga bandel metik buah kopi yang sudah matang untuk dinikmati bersama. gak cuma itu karena di sini kita banyak banget nemuin makam di depan rumah yang dihias dan dibangun jauh lebih bagus dari pada rumahnya. Aneh kan.
Anak-anak, ibu-ibu gak takut, mereka duduk aja santai sambil ngobrol-ngopi di atas kuburan itu macem teras gitu.
Di sana juga gue banyak ketemu laki2 yang potongan rambutnya sama. Serius, potongan rambutnya sama. Semacam setengah pitak gitu dan sumpah itu aneh sekaligus lucu banget.
Di tempat ini gue ketemu anak kecil yang enggak sekolah. Keliatannya rajin dan ulet dalam pekerjaan tapi dia enggak sekolah karena bantu orangtua, semacam jadi kenek gitu. Hujan-hujan dia akhirnya pulang sakit. Sembari kasih kompres instan gue sama temen-temen wartawan lain bujuk dia buat sekolah dan akhirnya disambut baik sama panitia yang mau menyekolahkannya. Selamat! Gak boleh lagi ada anak yang putus sekolah.
Ok sampai di rumah narsum kita ngobrol ngalor ngidul. lagi-lagi soal TKI ilegal yang jadi profesi mereka, atau bahasa halusnya TKI swadaya karena yang mereka tahu mereka ke Malaysia berangkat sendiri tanpa jalur resmi pemerintah.
Saya sempat berbincang secara personal dengan istri pemilik rumah yang ternyata orang Jawa yang terpaksa pindah ke NTT karena ikut suami. Sungguh jarang terjadi yak.
Mau apapun itu, pilihan menjadi TKI Ilegal mereka anggap enggak dosa karena mereka emang nyari duit di tengah sulitnya pekerjaan di sana. Meski mereka tahu, mereka bisa pulang hanya nama atau sekalipun mati, jenazah mereka bisa aja luntang lantung. Bagi mereka itu bagian dari risiko kerja.