Sampai kini dualisme teori dan pendapat pemerolehan dan pembentukan persepsi anak belum bisa terpecahkan. Sebagian mengikuti Chomsky dan menganggap anak mampu berbahasa karena dorongan dari lingkungan dan sifat alami manusia. Tetapi setelah 50 tahun berlalu, pendapat lainnya dari Elman dan Saffran muncul dan menyanggah kemampuan bahasa bukanlah bersifat turunan tetapi lebih karena kemampuan anak dalam mengembangkan kemampuan bahasa.
Untuk membuktikan dua teori kuat tersebut serangkaian penelitian pun dilakukan untuk mencari tahu proses pemerolehan bahasa yang terjadi pada bayi setiap bulannya. Seperti High-amplitude Sucking (HAS) yang menjadikan kecepatan mengisap dot pada anak menjadi acuan. Di dalam dot tersebut ditaruh alat pengukur kecepatan untuk mengetahui apakah anak berekasi ketika diberi suara tertentu. Ada juga metode penelitian yang menggunakan conditional head-turn. Dengan metode ini, reaksi anak bisa dilihat dari perhatian yang diberikan anak terhadap objek dan suara tertentu. Reaksi dan kecenderungan yang diukur lewat dua metode itu akan menuntun anak membangun persepsi dan pengetahuan bahasa mereka.
Dari penelitian itu didapat bahwa setiap bulan, anak belajar bahasa untuk pertama kalinya dengan cara mengkategorikan suara yang dia dengar, dari situ dia mulai menghubungkan suara dengan kata dan akhirnya mampu berkomunikasi dengan orang lain. Liberman menyebutnya dengan persepsi kategorikal (Peter W Jusczyk 2000 : 46) .
Berikut adalah hasil penelitian pada anak yang menunjukan kecenderungan anak terhadap variasi suara tertentu :
1. Membedakan berbagai konsonan
Dari metode HAS tersebut, didapat bahwa bayi sudah bisa membedakan bunyi konsonan dan suku kata. Sebagai contoh Eimas pernah menguji anak berumur satu bulan. Saat itu dia memperdengarkan suara /b/ dan /p/ dengan jeda diantaranya. Hasilnya si bayi mampu membedakan bunyi /b/ dan /p/ seperti orang dewasa. Dari konsonan ini anak bisa membedakan aspek fonologis lebih jauh lagi. Seperti membedakan tinggi rendah konsonan tersebut pada umur dua bulan. Kemudian kemampuan ini berkembang saat anak sudah bisa membedakan huruf dan suku kata.
2. Membedakan bahasa asing
Meski belum punya pengetahuan dengan tentang bahasa asing, bayi ternyata mampu membedakan bahasa ibunya dengan bahasa asing. Dengan menggunakan metode HAS juga, seorang bayi Perancis berusia empat hari mampu membedakan bahasa Perancis dan bahasa Rusia. Sebab saat diperdengarkan kedua bahasa tersebut, isapan dot anak lebih cepat saat diperdengarkan bahasa Perancis daripada bahasa Rusia. Tetapi jika bayi tersebut berasal dari orang tua yang berbeda negara maka saat diperdengarkan bermacam-macam suara dari berbagai bahasa seperti Polandia, Rusia, Arab dan sebagainya, dia sama sekali tidak menunjukan kecenderungan pada bahasa apapun. Dari sini bisa disimpulkan anak lebih suka asal bahasa ayah ibu mereka.
Selain itu, peneliti lain mencoba membandingkan bahasa yang berbeda ke seorang anak. Dari percobaan Trehub seorang anak Kanada satu diperdengarkan suku kata dari bahasa Inggris dan bahasa Ceko. Ternyata anak mampu membedakan fonem yang mirip dalam bahasa Inggris dan Ceko. Tetapi hal justru tidak bisa dilakukan dengan baik oleh orang dewasa. Serangkaian penelitian juga dilakukan dan hasilnya sama, sehingga peneliti menyimpulkan semakin besar anak maka dirinya akan semakin sulit membedakan fonem yang mirip. Hal itu karena semakin bertambah dewasa maka semakin sering juga dia menemukan lingkungan bahasa yang berbeda yang menyebabkan dirinya tidak bisa fokus lagi. (Jacqueline Sachs dalam Jean Berko Gleason 2001 : 72).
Kemampuan membedakan bahasa asing ini tak lepas dari kemampuan anak membedakan ritme dan tekanan bahasa. Seperti yang diketahui di setiap bahasa memang mempunyai karakteristik baik berupa ritme dan tekanan berbeda. Seperti ritme di dalam bahasa Perancis dan Jepang dimana panjang huruf vokal dan konsonan berlainan. Pengetahuan seperti inilah yang akan mengantarkan anak mengetahui tataran fonologi lebih dalam.
3. Membedakan suara ibu
Banyak penelitian yang mengatakan bahwa suara ibu telah dideteksi anak sejak dalam kandungan. Menurut para peneliti menganut Nativis itu karena pola bicara ibu dan karakter prosodic bahasa ibu lebih mampu diserap sempurna dibandingkan yang lain (Peter W Jusczky 2000: 77). Hal tentu karena anak telah terbiasa dan menyimpan suara ibu di dalam memorinya sejak dia masih berada di dalam kandungan. Tak heran, jika setelah lahir respon terhadap suara ibu lebih tinggi dibandingkan dengan suara orang lain.
Peneliti Spence dan DeCasper yang membuktikan anak lebih menyukai suara ibunya yang asli ketika membacakan cerita dibandingkan dengan rekaman suara ibunya. Padahal suara itu sudah dibuat sedemikian mirip. Selain itu, bayi dianggap cepat tanggap terhadap bahasa asing yang diajarkan atau diucapkan ibunya. Jika si ibu sering mengulang-ulang bahasa asing tersebut maka anak diperkirakan mampu membentuk dan memperoleh bahasa asing itu lebih cepat.
4. Membedakan bunyi dan bahasa yang berpola
Bayi lebih menunjukkan kesukaannya pada bunyi dan bahasa yang punya berpola. Eksperimen ini pernah dilakukan pada bayi berumur 3 bulan. Seperti suara ibu, anak juga lebih suka dengan cerita yang sudah sering dibacakan dibandingkan dengan cerita yang baru. Apalagi cerita itu sering dibacakan sebelum dia lahir. Selain itu, bayi juga senang dengan kata-kata tertentu yang punya tekanan. Seperti pada kata baby, little dan robbin yang punya tekanan di suku kata awalnya. Menurut penelitian Jusczky, Cutler dan Redanz anak lebih menunjukkan kecenderungannya pada pola penekanan kata strong-weak dibandingkan weak-strong. Anak berusia enam bulan mendengar lebih lama pada kata berpola strong week dibandingkan pola lain (dalam Eve Clark 2009 : 60). Pola-pola seperti disebut dengan prosodic features.
Meski begitu ada perbedaan persepsi pola di setiap negara. Contohnya orang tua Afrika-Amerika di Carolina yang tidak pernah menggunakan pola bicara yang tinggi kepada anak, jika hal yang terjadi demikian maka mungkin ada pola lainnya untuk menarik perhatian anak.
5. Happy Talk
Seperti manusia pada umumnya, anak juga menyukai jika orang dewasa berbicara bahagia atau happy talk dengan lawan bicaranya. Dari percobaan yang dilakukan oleh Sigh didapat bahwa anak berumur enam bulan mendapat dampak postitif jika orang-orang di sekelilingnya bahagia (Jacqueline Sachs dalam Jean Berko Gleason 2001 : 49). Bahkan anak mampu mendeteksi jika ibu mereka sedang mengalami depresi. Sebab ibu yang depresi tidak banyak memproduksi kata-kata berpola seperti yang disukai anak. Jika ini terus berlanjut dikhawatirkan kemampuan komunikasi anak tidak berjalan optimal.