Selasa, 29 November 2016

Hebat! Bayi Sudah Bisa Membedakan Bahasa Asing


Sampai kini dualisme teori dan pendapat pemerolehan dan pembentukan persepsi anak belum bisa terpecahkan. Sebagian mengikuti Chomsky dan menganggap anak mampu berbahasa karena dorongan dari lingkungan dan sifat alami manusia. Tetapi setelah 50 tahun berlalu, pendapat lainnya dari Elman dan Saffran muncul dan menyanggah kemampuan bahasa bukanlah bersifat turunan tetapi lebih karena kemampuan anak dalam mengembangkan kemampuan bahasa.

Untuk membuktikan dua teori kuat tersebut serangkaian penelitian pun dilakukan untuk mencari tahu proses pemerolehan bahasa yang terjadi pada bayi setiap bulannya. Seperti High-amplitude Sucking (HAS) yang menjadikan kecepatan mengisap dot pada anak menjadi acuan. Di dalam dot tersebut ditaruh alat pengukur kecepatan untuk mengetahui apakah anak berekasi ketika diberi suara tertentu. Ada juga metode penelitian yang menggunakan conditional head-turn. Dengan metode ini, reaksi anak bisa dilihat dari perhatian yang diberikan anak terhadap objek dan suara tertentu. Reaksi dan kecenderungan yang diukur lewat dua metode itu akan menuntun anak membangun persepsi dan pengetahuan bahasa mereka.



Dari penelitian itu didapat bahwa setiap bulan, anak belajar bahasa untuk pertama kalinya dengan cara mengkategorikan suara yang dia dengar, dari situ dia mulai menghubungkan suara dengan kata dan akhirnya mampu berkomunikasi dengan orang lain. Liberman menyebutnya dengan persepsi kategorikal (Peter W Jusczyk 2000 : 46) .

Berikut adalah hasil penelitian pada anak yang menunjukan kecenderungan anak terhadap variasi suara tertentu :

1. Membedakan berbagai konsonan

Dari metode HAS tersebut, didapat bahwa bayi sudah bisa membedakan bunyi konsonan dan suku kata. Sebagai contoh Eimas pernah menguji anak berumur satu bulan. Saat itu dia memperdengarkan suara /b/ dan /p/  dengan jeda diantaranya. Hasilnya si bayi mampu membedakan bunyi /b/ dan /p/ seperti orang dewasa. Dari konsonan ini anak bisa membedakan aspek fonologis lebih jauh lagi. Seperti membedakan tinggi rendah konsonan tersebut pada umur dua bulan. Kemudian kemampuan ini berkembang saat anak sudah bisa membedakan  huruf dan suku kata.

2. Membedakan bahasa asing

Meski belum punya pengetahuan dengan tentang bahasa asing, bayi ternyata mampu membedakan bahasa ibunya dengan bahasa asing. Dengan menggunakan metode HAS juga, seorang bayi Perancis berusia empat hari mampu membedakan bahasa Perancis dan bahasa Rusia. Sebab saat diperdengarkan kedua bahasa tersebut, isapan dot anak lebih cepat saat diperdengarkan bahasa Perancis daripada bahasa Rusia. Tetapi jika bayi tersebut berasal dari orang tua yang berbeda negara maka saat diperdengarkan bermacam-macam suara dari berbagai bahasa seperti Polandia, Rusia, Arab dan sebagainya, dia sama sekali tidak menunjukan kecenderungan pada bahasa apapun. Dari sini bisa disimpulkan anak lebih suka asal bahasa ayah ibu mereka.

Selain itu, peneliti lain mencoba membandingkan bahasa yang berbeda ke seorang anak.  Dari percobaan Trehub seorang anak Kanada satu diperdengarkan suku kata dari bahasa Inggris dan bahasa Ceko. Ternyata anak mampu membedakan fonem yang mirip dalam bahasa Inggris dan Ceko. Tetapi hal justru tidak bisa dilakukan dengan baik oleh orang dewasa. Serangkaian penelitian juga dilakukan dan hasilnya sama, sehingga peneliti menyimpulkan semakin besar anak maka dirinya akan semakin sulit membedakan fonem yang mirip. Hal itu karena semakin bertambah dewasa maka semakin sering juga dia menemukan lingkungan bahasa yang berbeda yang menyebabkan dirinya tidak bisa fokus lagi. (Jacqueline Sachs dalam Jean Berko Gleason 2001 : 72).

Kemampuan membedakan bahasa asing ini tak lepas dari kemampuan anak membedakan ritme dan tekanan bahasa. Seperti yang diketahui di setiap bahasa memang mempunyai karakteristik baik berupa ritme dan tekanan berbeda. Seperti ritme di dalam bahasa Perancis dan Jepang dimana panjang huruf vokal dan konsonan berlainan. Pengetahuan seperti inilah yang akan mengantarkan anak mengetahui tataran fonologi lebih dalam.

3. Membedakan suara ibu

Banyak penelitian yang mengatakan bahwa suara ibu telah dideteksi anak sejak dalam kandungan. Menurut para peneliti menganut Nativis itu karena pola bicara ibu dan karakter prosodic bahasa ibu lebih mampu diserap sempurna dibandingkan yang lain (Peter W Jusczky 2000: 77). Hal tentu karena anak telah terbiasa dan menyimpan suara ibu di dalam memorinya sejak dia masih berada di dalam kandungan. Tak heran, jika setelah lahir respon terhadap suara ibu lebih tinggi dibandingkan dengan suara orang lain.



Peneliti Spence dan DeCasper yang membuktikan anak lebih menyukai suara ibunya yang asli ketika membacakan cerita dibandingkan dengan rekaman suara ibunya. Padahal suara itu sudah dibuat sedemikian mirip. Selain itu, bayi dianggap cepat tanggap terhadap bahasa asing yang diajarkan atau diucapkan ibunya. Jika si ibu sering mengulang-ulang bahasa asing tersebut maka anak diperkirakan mampu membentuk dan memperoleh bahasa asing itu lebih cepat.

4. Membedakan bunyi dan bahasa yang berpola

Bayi lebih menunjukkan kesukaannya pada bunyi dan bahasa yang punya berpola. Eksperimen ini pernah dilakukan pada bayi berumur 3 bulan. Seperti suara ibu, anak juga lebih suka dengan cerita yang sudah sering dibacakan dibandingkan dengan cerita yang baru. Apalagi cerita itu sering dibacakan sebelum dia lahir. Selain itu, bayi juga senang dengan kata-kata tertentu yang punya tekanan. Seperti pada kata baby, little dan robbin yang punya tekanan di suku kata awalnya. Menurut penelitian Jusczky, Cutler dan Redanz anak lebih menunjukkan kecenderungannya pada pola penekanan kata strong-weak dibandingkan weak-strong. Anak berusia enam bulan mendengar lebih lama pada kata berpola strong week dibandingkan pola lain (dalam Eve Clark 2009 : 60). Pola-pola seperti disebut dengan prosodic features.


Meski begitu  ada perbedaan persepsi pola di setiap negara. Contohnya orang tua Afrika-Amerika di Carolina yang tidak pernah menggunakan pola bicara yang tinggi kepada anak, jika hal yang terjadi demikian maka mungkin ada pola lainnya untuk menarik perhatian anak.

5. Happy Talk

Seperti manusia pada umumnya, anak juga menyukai jika orang dewasa berbicara bahagia atau happy talk dengan lawan bicaranya. Dari percobaan yang dilakukan oleh Sigh didapat bahwa anak berumur enam bulan mendapat dampak postitif jika orang-orang di sekelilingnya bahagia (Jacqueline Sachs dalam Jean Berko Gleason 2001 : 49). Bahkan anak mampu mendeteksi jika ibu mereka sedang mengalami depresi. Sebab ibu yang depresi tidak banyak memproduksi kata-kata berpola seperti yang disukai anak. Jika ini terus berlanjut dikhawatirkan kemampuan komunikasi anak tidak berjalan optimal.

Selasa, 15 November 2016

Eksotisme di Timur Indonesia yang Menggugah Nasionalisme- NTT (4)

Perjalanan untuk mencari cerita untuk dituliskan berlanjut ke Pulau Adonara, Flores Timur. Perjalanan ke Adonara tidak terlampau jauh dari Larantuka. Namun banyak beredar berita bahwa terkadang di antara laut ini kerap terjadi pusaran misterius,

Kendati gak sejauh perjalanan lalu ke Solor, namun perjalanan ke Adonara lebih berbahaya karena arus misterius yang bisa menenggelamkan perahu. Makanya perlu hitungan waktu untuk menyeberang ke sana.

Adorana sama seperti pulau di sekitar Flores lainnya. Mungkin kata orang kota disebut tertinggal karena aksesnya sulit, masih banyak hutan, listrik dan sinyalpun tidak terjamin keberadaanya. Tapi tahukah kamu, dari pulau-pulau di Flores ini kita bisa menemukan makna keberagaman sebenarnya. Mungkin menemukan Indonesia seutuhnya.

Ya meski gue memakai jilbab sebagai identitas Muslim gue, namun mereka benar-benar menghormati gue. Menyediakan tempat salat, mengusir anjing yang saya takuti, tanpa melihat kalau gue bukan bagian dari mereka secara agama.



Ok, balik lagi ke topik. Kalau di Pulau Solor kita harus naik mobil pikap untuk menuju pusat pemukiman, di Adonara kita udah disediakan ojek yang sopirnya anak-anak semua. Dari wawancara singkat gue, si pengemudi rupanya baru pada pulang sekolah dan sekolahnya berada di beda kecamatan. Di sana sekolah hanya bisa dihitung jari. Sedih kan, beberapa harus berkorban waktu hanya untuk pergi ke sekolah. Jadi kurang bersyukur apa kita yang sekolah di Jakarta. Masih belagu?!

Di sana gue ketemu ketua RW salah satu desa. Meski ketua RW dia banyak memberi inspirasi. Dia adalah salah satu pemonitor para TKI swadaya di Malaysia. Meski berada di pelosok, dia selalu rajin menyapa warganya yang jadi TKI melalui Facebook. Cerdik bukan!

Jangan kamu kira ini cuma perihal sepele karena dia harus menyebrang pulang supaya dapat sinyal dan mengecek kabar dari warganya. Perjuangan banget kan. Pak RW ini juga paling kritis saat banyak guru di tempatnya bekerja melakukan pungli. Hmmm....

Selama kita mengobrol, sang istri sibuk memasak. Dan ya mereka menunjukan personifikasi Indonesia kental banget , ramah dalam menerima tamu. Hingga akhirnya, kita bisa bersantap jagung titi sebagai pengganti nasi lengkap dengan sayur bening dan ikan, Hmmmm enak.....

Sepengelihatan gue di sana ada yang unik. Banyak rumah di NTT menaruh sound system dan speaker bersar-besar di depan rumah mereka. Usut punya usut orang NTT gemar berpesta dan menyalakan musik besar-besar. Mereka bangga kalau mereka bisa nyalain musik segede-gedenya. Lucu ya.



Keesokan harinya kita naik ke daratan tinggi di Larantuka. Jalan berkelok hampir membuat gue mabok tapi sesampai di sana, bergabung dengan wartawan lokal, gue langsung disambut sama lucunya anak-anak yang lagi manjat-manjat pohon beringin. Lucu banget, gue jadi kangen masa kecil dan emang aktivitas kayak gini udah jarang banget di Jakarta. Bahkan enggak ada kali.

Langsung deh tancap gas ikutan naik-naik sambil ketawa-tawa sama anak-anak abis itu malah enggak bisa turun. hahahaha.,... untuk wartawan itu karakternya emang laki banget, langsung aja rekan wartawan menyediakan tubuhnya untuk menopang saya wkwkwkwk.... gentle abis.



Selesai dari kumpul-kumpul di forum desa, pulangnya kita menyempatkan foto-foto barenga-bareng di salah satu tebing. Wah seger banget pokoknya dan emang keliatan indah banget apalagi sama orang-orang yang seru.



Kita juga mampir ke dermaga untuk menikmati sunset dan ternyata lagi mendung. Namun enggak buat keindahannya hilang, Malah kita bisa foto-foto ala ala video klip gitu hahahha.... sapa dulu yang foto. Sayang banget klo orang yang udah ke tempat bagus tapi fotonya ga bagus. Gue suka misuh-misuh kalau tempatnya bagus tapi foto orangnya lebih gede daripada foto pemanandangannya hahaha... klo selfi gitu mah di rumah juga bisa orang isinya muka lu semua hahaha



Pulangnya udah ditutup cantik dengan pelangi. Wah gimana gak kerasa komplit bgt kan perjalanan ini. Hmmm...

Kita juga sebagai Indonesia harusnya belajar dari pelangi yang berwarna warni menyatu, melengkung memberi pesona bagi orang  yang melihatnya. Kita Indonesia juga beda-beda dan harusnya belajar menyatu dalam perbedaan dan membuat orang terpana melihatnya.  Hiks....

Kembali ke Kupang

Sudah saat saya sama teman-teman jurnalis balik ke Kupang. Keesokan harinya kita sudah harus pulang. Godaan untuk extend di daerah paling cantik ini menggedor gedor relung hati saya (cieileh), karena akan amat sulit lagi saya ke sana. Apalagi saya pengen banget nyebrang ke lembata yang juga punya pemandangan tak kalah bagus. Ada juga Danau Kalimutu sampai Manggarai yang suka ada di website dunia.

Sesampainya di Kupang udah letih banget 9 hari ini, harus penuhin undangan DPRD lagi untuk dengar pendapat soal TKI ilegal ini. Mencoba semangat, untung teman-teman jurnalis yg bareng asyik asyik bisa jadi tempat curhat (lho kok!).

Habis selesai acara kita gak mau ngelewatin episode beli oleh-oleh yang cukup nguras kantong karena beli kain ikat NTT lumayan mahal. Tapi mana tega lu nawar rendah sama pedagangnya karena tahu gimana susahnya bikinya dan gimana lu bantu mereka dengan beli produk kain ikat.

Kemudian dengan baik hatinya, driver kita nganterin ke wisata di dekat situ gara-gara gue komporin untuk bisa kemana gitu di akhir terakhir. Dan sampailah kita di air terjun  Oenesu. yang letaknya lumayan terpencil dan gak terurus. Kasihan! padahal air terjun ini lumayan jernih dan bersih, beberapa pemuda juga cliff jump di sini. Asyik banget tapi karena enggak bawa baju, mikir2 deh buat nyebur.


Di sini kita bisa naik ke beberapa tingkatnya. Tenang aja enggak batunya licin kok. Setelah puas main-main dan dapet foto keren, akhirnya kita balik dan keingetan kembali klo kita sebenarnya sudah capek banget. Sore di hotel saya langsung tepar dana entah kenapa sedih banget hati karena besoknya harus pulang dan ternyata ini firasat kalau ternyata ibu dari orang terdekat saya meninggal. Hufft...

Bagaimana pun saya merasa beruntung pernah menginjakkan kaki di sini. Di tempat yang bagi banyak orang disebut 'kepingan surga Indonesia'. Jadi jangan sayang sama uangmu buat pergi ke sini. Dijamin enggak nyesel!


Minggu, 06 November 2016

Mengenal Lebih dalam Gajah Asia & Bunga Rafflesia


 Gajah Asia Bertelinga Kecil




Gajah Asia adalah gajah yang hidupnya di Asia termasuk India, Sumatera dan Kalimantan. Dibandingkan dengan gajah Afrika, gajah ini bobotnya lebih kecil karena  Panjangnya sekitar 5,5-6,4 m, lebar pundak sekitar 2,5-3m dan berat 3,5 ton. Warna tubuhnya bermacam-macam dari abu-abu hingga cokelat. Di bagian kulit dadanya terdapat bercak-bercak.

Gajah ini juga hidupnya berkelompok, satu kelompok terdiri dari lebih 20 ekor gajah dan mendiami hutan juga semak-semak. Saat panas mereka akan mengibas-ngibaskan telinga mereka sambil minum dan beristirahat. Pada saat malam dan pagi hari mereka makan makanan seperti rumput, daun, buah, kulit pohon dan lain-lain. masa kehamilan gajah ini berlangsung 18-22 bulan, anak gajah yang baru lahir lebar pundaknya sekitar 1m, dan beratnya 90kg.



Jenis-jenis gajah Asia dibagi menjadi 4 jenis yaitu gajah India (E.m.bengalenesis), gajah Srilanka (E.m.maximus), gajah Malaysia (E.m. hirsutus), gajah Sumatera (E.m. sumateramus). Di antara jenis gajah di atas gajah yang jumlahnya semakin sedikit adalah gajah Srilanka oleh karena itu pada tahun 1965 gajah tersebut dijadikan sebagai satwa yang dilindungi.

Rafflesia, Bunga Paling Besar di Dunia


Rafflesia adalah tanaman parasit yang hidup di daerah tropis seperti kepulauan Asia Tenggara, semenanjung Malysia dan lain-lain. dikenal sebagai bunga terbesar di dunia. Bunga terbesar yang pernah ditemukan di Malaysia berukuran 1m dengan berat 11kg.



Oleh karena bunga ini adalah tumbuhan parasit maka untuk mendapatkan makanan dan nutrisi, bunga ini bergantung dari tanaman yang ditempelinya. Sehingga bunga tidak seperti bunga lainnya karena tidak mempunyai daun, akar, batang, sel stomata dan lain-lain.

Organ vegetatif Rafflesia mirip seperti benang berserat-serat, benang ini yang meresap dan mengambil nutrisi dari batang tanaman yang ditempelinya.Setelah terbentuk kuncup bunga Rafflesia, kemudian di dalam kuncup bunga Rafflesia tersebut  akan membentuk lingkaran yang bentuknya sepertfi kubis. Kalau sudah begitu kuncup bunga Rafflesia terbuka dan bunga akan mekar. Untuk memunculkan bunga lain yang berasal dari benih kuncup diperlukan waktu 1-2 tahun. Proses agar bunga ini mekar memakan waktu hingga 1 bulan namun waktu mekarnya bunga hanya berlangsung 3-7 hari.


Sumber

Pengetahuan ekologi dalam komik petualangan
Penulis : comicom/gambar : nemo
Penerbit : comicom

Jumat, 04 November 2016

Proses Pemerolehan Bahasa & Pembentukan Persepsi Anak


Sulit dibayangkan jika manusia yang telah lancar berbicara bahkan berbicara bahasa asing, sewaktu kecil hanya bisa mengucapkan sepatah kata bahkan dengan tidak lancar. Misteri terbentuknya persepsi bahasa pada bayi pun mulai diungkap banyak peneliti. Seperti penelitian yang pernah dilakukan oleh Dehaene Lambertz terhadap dua otak orang dewasa dan bayi, ternyata ditemukan bahwa otak bayi bekerja sama baiknya dengan otak dewasa dalam memroses bahasa, itu dilihat dari aktivitas Hemisphere bagian kiri saat mendengar bahasa (dalam Judit Gervain dan Jacques Mehler 2009: 210). Oleh karena itu, Lambertz percaya bahwa pengetahuan bahasa anak berkembang secara alami.



Pendapat lainnya yang mengatakan proses perkembangan itu datang dari stimulus yang diberikan oleh orang lain di lingkungannya (Julie Docrkrell dan David Messer 1999: 24). Para peneliti ini membuktikan teori mereka dengan mengacu pada reaksi anak, seperti lewat gerakan kepala, kuat dan cepatnya mereka menyedot susu mereka dan lain-lain. Dari situ diketahui bagaimana anak mempersepsikan bahasa yang dia tangkap lewat suara hingga akhirnya berkembang dan anak akhirnya mampu memproduksi bahasa.



PROSES  PEMEROLEHAN BAHASA  DAN PEMBENTUKAN PERSEPSI ANAK

Manusia pada hakikatnya belajar bahasa untuk pertama kali melalui suara. Dari suara yang dia terima tersebut, manusia merekonstruksi gambaran fonologikal kemudian diterjemahkan ke dalam struktur semantik dan leksikal yang sudah ada di dalam kognisinya. Sebagai contoh ketika seseorang mendengar kata “gadis itu bersama dengan anjingnya” maka yang terjadi seperti gambaran berikut ini.

Sistem audio → gambaran fonologikal → pemilihan leksikal → gambaran sintaksis →  image (fundamental) (Eva M Fernandez dan Helen Smith Cairms 2011 : 170)


Proses ini adalah proses persepsi bahasa yang terjadi di dalam manusia. Begitu juga pada bayi, suara menjadi alat untuk bayi belajar memperoleh bahasa tetapi tidak seperti proses di atas, bayi belum memiliki data atau pengetahuan bahasa yang dia simpan di kognisi untuk menemukan meaning. Sehingga dia harus memulai pemerolehan bahasa dari satuan terkecil bahasa yaitu suara. Ada dua teori besar yang mengemukakan soal pembentukan persepsi anak. Teori tersebut adalah teori Nativist dan teori Statistikal.

1. Teori Nativis

Teori pertama dipelopori oleh Chomsky yang menganggap pemerolehan bahasa merupakan proses biologi yang dikodifikasi yang terjadi secara alami atau singkatnya bisa dikatakan pembentukan bahasa merupakan bawaan lahir dan sesuatu yang diturunkan (Judit Gervain dan Jacques Mehler 2009: 193). Salah satu contohnya, teori dari Birnholz dan Benaceraaff yang mengatakan sistem pendengaran anak sudah bisa berfungsi sejak dia masih menjadi janin di tiga bulan terakhir dalam masa kehamilannya (dalam Peter W Jusczyk 2000 : 75).  Oleh karena itu, nantinya persepsi anak akan lebih kuat dan responsif jika ibu yang memberikan stimulus bahasanya. Tetapi teori dianggap tidak mempunyai cukup bukti hingga pada akhirnya teori ini disaggah oleh kaum penganut empirisme atau statistikal.

Noam Chomsky


Penelitian lain pernah dilakukan oleh Behaene Lamblettz untuk membuktikan teori ini, Lamblettz mengatakan orang dewasa bisa mengkoreksi tata bahasa dengan aktivasi otak kanan, ternyata proses serupa juga terjadi di otak kanan anak yang baru lahir. Sehingga tak heran anak bisa membedakan mana tata bahasa yang salah mana yang tidak meski dia belum punya pengetahuan dasar bahasa. Chomsky juga berpendapat bahwa anak punya kemampuan untuk menyerap aturan bahasa dari lingkungannya tanpa harus diajarkan sehingga anak Inggris dan anak Jepang mampu membuat dan membedakan aturan bahasa Verb-Object dari lingkungan sekitarnya. Proses pembentukan persepsi dengan karakteristik bahasa seperti ini disebut dengan bootsrapping. Pinker sebagai pencetus teori ini mengatakan ada dua cara agar anak mampu membentuk persepsi dan menghubungkannya dengan karakter bahasa di lingkungannya.

Pertama lewat potongan kata yang dia tangkap dari orang di sekitarnya terutama ibu. Anak mampu memilah, menguraikan dan membatasi ujaran ibu. Dari sini anak akan mulai belajar mendeteksi dimana letak kata benda yang biasanya berada di belakang kalimat. Sebagai contoh “Ini adalah sapi” dan “Lihat itu gajah”. Dari sini anak mulai melakukan pelabelan. Dengan memanfaatkan ketertarikan anak pada objek-objek visual yang anak lihat, orang tua bisa mengajarkan anak pelabelan bahkan saat anak berada di usia kurang dari satu tahun.

Peranan orang tua untuk mengenalkan nama suatu objek bisa dilakukan dengan sambil bermain, menunjukan gambar di buku dan lain-lain. Interaksi seperti ini disebut dengan joint attention. Patut diketahui anak lebih memahami dan mudah menerjemahkan jika orang tua menyertakan referensi pada anak seperti gambar. Atau dalam kata lain, anak lebih paham dengan sentence frame dibandingkan dengan isolation word.  Seperti pada percobaan yang menguji dua kelompok anak berusia 9 bulan. Kelompok pertama diberi gambar kelinci dan si penguji menyebut kata ‘kelinci berulang-ulang. Sedangkan kelompok kedua hanya diberi gambar tetapi tidak diperkenalkan kata ‘kelinci’. Hasilnya anak dengan pengenalan suara dan visual lebih optimal mengenal kelinci dibandingkan dengan kelompok anak yang lain (William O’Grady 2005 : 41)
.
Kedua, persepsi anak bisa dibentuk dari aspek fonologi. Anak mampu mendeteksi kata atau suku kata terakhir, anak juga mulai membatasi kata dari prosodi (penekanan), fonotatik (rangkaian kata di awal dan akhir), alofonik (variasi segmen suara) (Morgan dalam Eve Clark 2009 : 64). Proses pengidentifikasian ini terjadi pada anak berumur 10 bulan. Penekanan pada kata membuat anak lebih terfokus pada suku kata atau huruf yang biasa hadir di akhir kata. Sebagai contoh “Ini macan!” setelah anak mampu melakukan pengidentifikasian pada tekanan di akhir kata maka anak akan mampu menyempurnakan pengidentifikasian di awal kata.

Pinker mengakui kalau teori ini tidak sempurna sepenuhnya sebab ada tiga hal yang masih menjadi celah kesalahan dalam bosstsrtapping anak. Tiga kesalahan itu adalah tuturan yang diberikan oleh orang dewasa bersifat universal, interpretasi anak bisa saja salah dan tidak ada jaminan orang dewasa menuturkan satu objek dengan benar. Contohnya, jika seorang dewasa menunjuk dan memberi tahu satu objek bernama meong (kucing) dan sisi lain ada orang dewasa mengenalkan objek tersebut dengan label kucing maka anak di sini akan mengalami kerancuan dan gangguan dalam memahami bahasa.

2. Teori empiris atau teori statistikal

Teori kedua adalah teori emperis, teori ini mengatakan pemerolehan dan pembelajaran anak tak terjadi begitu saja, tetapi ada unsur konektivitas dan bergerak dari pengetahuan bahasa yang umum ke khusus. Menurut Tamsello tahapan pertama pemerolehan bahasa yang dilakukan bayi adalah memasukan semua data bahasa ke dalam otaknya (Judit Gervain dan Jacques Mehler 2009: 193).

Michael Tamsello

Setelah itu anak mampu mendeteksi adanya pengulangan dalam konstruksi bahasa yang abstrak. Sehingga akhirnya anak atau bayi bisa memahami konstruksi bahasa itu. Perlu diingat bahwa pemahaman ini tidak dia dapat dari pengenalan dia terhadap pengetahuan semantik tetapi lebih merupakan hasil simpulan selama dia dalam tahap pembelajaran bahasa. Teori ini menolak teori pertama dan mengatakan bahwa pemerolehan bahasa anak bukan suatu hal yang diturunkan tetapi lebih pada kemampuan anak berinovasi dan melakukan eksperimen terhadap dirinya sendiri. Sebab banyak kasus saat anak kesulitan melakukan imitasi. Sebagai contoh percakapan berikut ini yang diambil dari percobaan Smith:

Father : Say “jump”
Child : Dup
Father : No “Jump”
Child : Dup
Father : No “Jummmp”
Child : Only Dady can say Dup! (Smith dalam Eve Clark 2009 : 69).